Jakarta (ANTARA News) - Pro-kontra DPR dengan pemerintah yang dipicu keputusan Departemen Pertahanan membeli 32 panser VAB dari Perancis senilai Rp287 miliar tanpa tender, membuktikan masih kuatnya "dominasi militer" di departemen itu dan belum dimilikinya acuan yang jelas dalam "military procurement" sebagai standar pengadaan peralatan militer. "Dalam konteks `military procurement`, Dephan masih didominasi oleh perwira militer yang masih ingin terlibat dalam bisnis. Walaupun ini wilayahnya Dephan, mereka tetap ingin terlibat sebagai" broker-broker" bisnis (pengadaan Alutsista)," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi Strategis dan Studi Pertahanan Indonesia (Lesperrsi), Rizal Darmaputra, menjawab ANTARA di Jakarta, Rabu. Pendapat itu disampaikan Rizal menanggapi perdebatan di seputar masalah tersebut dalam dua minggu terakhir dan berujung pada keputusan sidang paripurna DPR, Selasa (12/9), yang meminta Departemen Keuangan untuk tidak mencairkan dulu dana pembelian 32 panser VAB (Vehicule de l`Avant Blinde) Perancis. Untuk menghindari terulangnya pembuatan keputusan tentang pembelian Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI tanpa proses tender yang transparan dan obyektif di masa depan, ia mengatakan supremasi sipil yang kuat dan tidak adanya lagi perwira militer yang memegang jabatan strategis di Dephan mutlak ada. Menurut Rizal, Dephan memang sedang menyusun acuan tersebut, namun perlu ada kriteria pengadaan Alutsista dalam situasi normal dan darurat. Untuk mendefinisikan masing-masing situasi itu, harus pula ada kriteria bagi keduanya yang disepakati Dephan, Mabes TNI, berbagai angkatan dan lembaga legislatif. Terkait dengan keputusan Dephan membeli langsung 32 panser dari perusahaan Perancis, Renault Trucks, ia mengemukakan selain proses pembeliannya yang salah, harga per unitnya yang mencapai 700.000 euro terlalu mahal, padahal pembeliannya dilakukan melalui kesepakatan antar pemerintah (G-to-G), bukan melalui broker. "Informasi yang saya dapatkan, harga per unit panser VAB baru adalah 500 ribu euro, dan yang bekas 400 ribu euro. Ini kan ada selisih harga yang besar. Selisihnya ke mana, padahal itu langsung G-to-G bukan rekanan. Artinya, kita masih belum transparan," katanya. Menjawab pertanyaan bahwa menurut Sekretaris Jenderal Dephan, Sjafrie Sjamsoeddin seperti dikutip Menhan Juwono Sudarsono pihak produsen di Perancis sudah bersedia menjual produk mereka bahkan sampai 450.000 hingga 500.000 Euro per unit, Rizal mengatakan ia justru mempertanyakan Dephan dan melihat perubahan sikap produsen panser VAB itu sebagai hal yang aneh. "Saya lihat Sekjennya (Sjafrie Sjamsoeddin) seperti marketing manager perusahaan Perancis. Seharusnya sejak awal sudah `firm` (jelas) harganya. harga fixednya (tetapnya) berapa. Ini kan aneh. Begitu DPR menolak, harga bisa turun lagi. Ini kayak beli barang di pinggir jalan," katanya. "Kalau ada perwira militer yang bertindak seperti marketing manager perusahaan Perancis, maka profesionalismenya perlu dipertanyakan," kata Rizal. Ke depannya, lanjut Rizal, kehadiran perwira TNI di Dephan hanya sekadar sebagai pemberi masukan, namun sipillah yang menjadi pengambil keputusan sehingga kalau ada "mark-up" (penggelembungan harga/korupsi-red.) atau kesalahan dalam pengambilan keputusan pembelian Alutsista, yang dimintai pertanggungjawabannya adalah pejabat sipil bukan perwira militer yang memberikan masukan. Tunda pencairan dana Sehari sebelumnya, seusai Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Ketua Panitia Anggaran DPR, Emir Moeis, kepada pers mengatakan Panitia Anggaran DPR mungkin akan membatalkan pencairan dana pembelian 32 panser dari Perancis itu. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno, anggota Komisi I DPR dari F PAN, Djoko Susilo, mengajukan interupsi. Dia mengatakan harga panser yang dipatok senilai 700 ribu euro itu terlalu tinggi, karena standar harga panser sekitar 400.000-500 ribu euro. Menurut Djoko, Departemen Pertahanan harus membuka tender untuk pembelian panser tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi interupsi Djoko dengan menyatakan bahwa pihaknya akan mengkaji kembali masalah pembelian panser itu. Sebelumnya, anggota Komisi I DPR dari FPKS, Suripto, mengatakan pembelian panser itu tak perlu terburu-buru. Dia mengatakan fraksinya akan mendesak pemerintah untuk membatalkan atau menunda pembelian panser tersebut. Persoalan pembelian panser untuk mendukung misi TNI yang menjadi bagian dari pasukan perdamaian PBB di Lebanon itu mencuat setelah hampir seluruh fraksi di Komisi I DPR dalam rapat dengar pendapat dengan pemerintah Jumat pekan lalu (8/9) mempertanyakan rencana pembelian kendaraan angkut personel Perancis itu. Kesimpulan Rapat Komisi I ketika itu meminta pemerintah melakukan proses tender, namun Sekjen Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan pihaknya tetap akan membeli 32 panser VAB dari Renault Trucks itu tanpa tender karena waktu yang sempit dan mendesak. Indonesia menyiapkan satu batalyon infanteri mekanis yang berasal dari TNI Angkatan Darat (652 personel), TNI Angkatan Laut (273), TNI Angkatan Udara (39), Markas Besar TNI (13) dan Departemen Luar Negeri tiga orang sebagai penerjemah untuk mendukung misi PBB di negara yang sebagian wilayahnya porak-poranda akibat invasi Israel itu. Pasukan TNI akan diberangkatkan secara bertahap pada 20 dan 28 September 2006.

Copyright © ANTARA 2006