Dulu itu tidak bisa membedakan antara tentara dan polisi, namanya di kampung tahunya hanya ABRI."
Jakarta (ANTARA News) - "Saya kenal Santoso," ujar Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri), Komisaris Jenderal Pol. Badrodin Haiti.

Santoso alias Abu Wardah adalah gembong teroris yang sudah lama bersarang di Poso, Sulawesi Tengah, dan menjadi target utama Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Markas Besar (Mabes) Polri untuk menangkapnya.

Densus 88 otak mencatat Santoso menjadi dalang sejumlah aksi teror di negeri ini, seperti penembakan polisi di Pondok Aren, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Selain itu, ia membuat aksi teror di Poso.

Badrodin mengemukakan, perkenalannya dengan Santoso bermula ketika masih menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Kapolda Sulteng) periode 2006-2008.

Dalam ingatannya, Santoso saat itu belum masuk ke dalam jaringan teroris, dan memiliki usaha menjual buku-buku Islami di Jalan Tamborana.

Lokasi kios itu di pinggir jalan, sehingga Badrodin mengaku, seringkali mampir dan membeli beberapa buku dalam perjalanan dari Palu ke Poso.

"Mampir sebentar, sering ngobrol ke situ, nanti berangkat lagi ke sana. Ya kita komunikasi, nggak ada masalah. Dulu kan belum terlibat apa-apa, kita masih bebas saja," katanya.

Santoso, lanjut dia, pada waktu itu tidak ditangkap karena belum terbukti melakukan aksi teror, kendati dirinya mencurigai bahwa si penjual buku tersebut terindikasi masuk ke dalam jaringan terorisme.

Saat itu, menurut Badrodin, kelompok garis keras masih melekat dan berbaur di antara masyarakat Poso, bukan hanya Santoso. Mereka menguasai masjid-masjid dan mempengaruhi para ulama.

Pada suatu operasi, dikemukakannya, dari 80 orang yang tertangkap karena dicurigai telah direkrut untuk menjadi teroris, separuh diantaranya dilepaskan karena dinilai hanya ikut-ikutan dan tidak terbukti.

"Di sana disebutnya 'anak bebek', itu yang masih ikut-ikutan, tapi justru sekarangnya berperan," katanya.

Badrodin mengaku tidak kaget saat mengetahui penjual buku itu kemudian terbukti terjun ke dalam salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) di dunia, dan bahkan berani menampakkan wajahnya di laman Youtube itu.

Meski saat ini telah dilakukan operasi-operasi rutin hingga ke hutan di Gunung Biru, Poso, tempat persembunyiannya, Santoso masih sulit ditangkap hidup-hidup.

"Mungkin ini bagian yang tercecer," ujarnya.

Oleh karena itu, Badrodin menegaskan bahwa pemberantasan terorisme masih menjadi fokus utama dalam tugas barunya sebagai orang yang dipercaya dalam membantu tugas Kapolri Jenderal Pol Sutarman.

Komjen Pol Badrodin Haiti ditunjuk oleh Kapolri Jenderal Pol Sutarman menjadi Wakapolri menggantikan Komjen (Purn) Oegroseno yang memasuki masa purnabakti pada 28 Februari 2014 berdasarkan surat Telegram Kapolri nomor ST/478/II/2014 tanggal 27 Februari 2014.

Sementara itu, Badrodin mulai bertugas sebagai Wakapolri setelah resmi dilantik dan melakukan serah terima jabatan pada Jumat 3 Maret 2014.

Menjadi Wakapolri merupakan prestasi bagi Badrodin, yang sejak kecil bercita-cita menjadi bagian dari korps Bhayangkara negara ini.

"Dulu itu tidak bisa membedakan antara tentara dan polisi, namanya di kampung tahunya hanya ABRI. Saya pikir gagah, bawa senjata," kata pria kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 24 Juli 1958.

Demi impiannya itu, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar di Akademi Kepolisian (Akpol) hingga perjuangannya berbuah manis di akhir masa pendidikannya, yakni meraih penghargaan berbentuk pedang Adhi Makayasa sebagai alumnus terbaik Akpol 1982.

Selain itu,  Badrodin merengkuh prestasi gemilang lainnya, seperti lulusan terbaik Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Angkatan ke XXIV tahun 1989 dengan penghargaan "Adhi Wira", dan setelah itu ikut Sekolah Staf Pimpinan (SESPIM) Polri Angkatan XXXIII lulus tahun 1998.

Ia lagi-lagi menjadi lulusan terbaik, yakni di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Kursus Reguler Angkatan (KRA)-36 tahun 2003 dengan mendapatkan penghargaan "Wibawa Seroja Nugraha".

Badrodin juga pernah mengikuti kursus di luar negeri, yakni "The 3D Internasional Police Cooperation on Criminal Investigation" di Jepan pada 2006.

Karirnya dimulai sebagai Komandan Peleton Satuan Bhayangkara (Danton Sabhara) Direktorat Samapta Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) pada 1982.

Ia kemudian menjabat Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Pancoran Mas pertama di Kepolisian Resor (Polres) Depok dari pos polisi (Pospol) menjadi Polsek. Pada 1989, menjabat Kasat Reskrim Polres Bekasi selama dua tahun.

Di sela-sela tugasnya sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bekasi, Badrodin ditunjuk untuk menjalani tugas di pasukan perdamaian (peace keeping force) bergabung dengan Kontingen Garuda (Konga) XII di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kamboja.

Pada 1994, ia menjabat Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat dengan pengalaman berhasil menangani membebaskan kasus penyanderaan seorang anak perempuan oleh mantan sopir di Kebun Jeruk.

Sementara itu, jabatan Kepala Kesatuan Wilayah yang pernah diemban Badrodin Haiti, yakni Kapolresta Surabaya Timur (1998-2000), Kapolres Probolinggo tahun (2000) selama 10 bulan, Kapoltabes Medan Sumatera Utara (2000-2003) dan Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar (Kapolwiltabes) Semarang, Jawa Tengah (2004).

Jabatan Direktur Reskrim Polda Jawa Timur juga dijabatanya pada 2003 meski pun hanya tiga bulan karena harus mengikuti pendidikan Lemhannas KRA 36.

Selang setahun kemudian, karirnya melesat hingga menduduki posisi strategis menjadi Kapolda Banten (2004), selanjutnya Sekretaris Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (2006) selama delapan bulan.

Badrodin kemudian menapak karir menjadi Kapolda Sulawesi Tengah (2006). Itulah masa tugas paling berat baginya karena harus menangani kasus Poso dan kasus Tibo dan kawan-kawan dengan vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Palu atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.

Bahkan, ia sampai berpindah ke Poso selama enam bulan sebagai salah satu strategi untuk mengenali musuh, sementara itu pekerjaan rutin Polda diserahkan kepada Wakapolda.

"Kita melakukan kegiatan-kegiatan mulai dari yang lunak hingga yang keras," ujarnya. (*)

Oleh Juwita Trisna Rahayu
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014