Tas besar dan sepotong matras telah mantap menempel di punggung Heni, seorang pegawai swasta di Jakarta. Sejak tiga bulan lalu, Heni telah mempersiapkan diri untuk menjelajahi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), di Jawa Timur. Dalam kesehariannya, gadis asal Solo ini sangat disibukkan oleh angka-angka dan tumpukan kertas untuk kebutuhan laporan keuangan perusahaannya. Namun untuk tiga hari ke depan, aktifitas kegiatan alam bebas menyusuri hutan akan ia lalui penuh dengan keceriaan yang khas. Lebih menyenangkan lagi, karena Heni akan menyusuri hutan bersama tiga kawannya yang berdomisili di Tangerang dan Bandung. Petualangan pun dimulai dengan menumpang kereta api Sembrani rute Jakarta-Surabaya. Perjalanan selama 12 jam itu dimanfaatkan oleh Heni dan teman-temannya dengan beristirahat. Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya, mereka menumpang bus ke Stasiun Gubeng. Dan dari Gubeng perjalanan "berkereta ria" diteruskan ke kota Jember - "pintu masuk" bagian barat Taman Nasional Meru Betiri. "Saya sangat bersemangat ke Meru Betiri, siapa tahu saya beruntung bisa mendapati jejak atau bahkan bertemu dengan Harimau Jawa yang konon nyaris punah itu," kata Heni kepada ANTARA News yang turut pula menyertai perjalanan tersebut. TNMB dapat diakses lewat beberapa jalur, yakni Surabaya-Jember-Ambulu (225km) dengan waktu lima jam, lanjut dengan rute Ambulu-Curahnongko-Bandealit yang berjarak 31 km tapi harus ditempuh selama tiga jam perjalanan dengan angkutan pedesaan atau mobil sewaan. Meru Betiri juga dapat dijangkau lewat Surabaya-Banyuwangi-Jajag (342 km) yang ditempuh selama enam jam dengan berkendara mobil, lalu diteruskan Jajag-Sarongan-Sukamade (60 km) dengan waktu tempuh 3 jam. Dan Heni bersama teman-temannya memilih rute Surabaya-Bandealit, kemudian menyusuri hutan dan pantai dari Bandealit menuju Sukamade. Bandealit Tempat persinggahan pertama Heni dan kawan-kawan adalah Perkebunan Bandealit, sebuah perkebunan milik swasta yang telah beroperasi jauh sebelum Meru Betiri ditetapkan sebagai taman nasional (yaitu pada tahun 1997). Perkebunan Bandealit, yang letaknya dekat dengan Pantai Bandealit dan mempekerjakan ratusan buruh tetap dan tidak tetap itu, secara rutin menghasilkan komoditi utama antara lain berupa kopi, kakao, kelapa, dan durian, yang dipasarkan ke berbagai pasar di Jawa Timur. Enam perkebunan yang ada di Taman Nasional itu mencakup lahan sekitar 2.000 ha, dari keseluruhan luas taman nasional yang mencapai 58.000 ha. Sebagai titik awal petualangan, trans Bandealit-Sukamade dimulai di Sumbergadung, desa yang berbatasan langsung dengan zona hutan TNMB. Trans Bandealit-Sukamade merupakan rute favorit para pecinta alam untuk menjelajahi hutan hujan tropis dataran rendah Meru Betiri, dengan jarak sekitar 18 km dan ditempuh dengan berjalan kaki selama tiga hari. Melintasi jalan setapak yang bervariasi antara jalan yang datar dan tanjakan selama satu jam dari Sumbergadung, perhentian pertama pun dilakukan di hamparan batu yang disebut dengan Batuampar. Menurut jagawana TNMB yang memandu perjalanan itu, Ketut Efendi, bila musim hujan tiba, Batuampar berubah menjadi sungai berbatu licin yang alirannya lumayan deras dan agak sulit untuk dilintasi. Perjalanan dilanjutkan dengan kondisi jalan yang semakin sulit. Tantangan yang harus dihadapi Heni teman-teman adalah, jalan menanjak dengan kemiringan 60 derajat. Sesekali kelelahan menerpa dan degup jantung pun berpacu sangat cepat seakan jantung hendak keluar dari tubuh. Namun pohon-pohon besar yang memayungi hutan dari terik sinar matahari, membuat perjalanan menjadi terasa sejuk. Udara hutan yang bebas polusi itu memberikan kesegaran bagi petualang. Apalagi sepanjang perjalanan, suara burung dan babi hutan yang terdengar meski agak lemah, menjadi musik alam yang sangat asyik untuk dinikmati. Yang unik, di sepanjang jalan setapak dapat dijumpai kotoran bajing yang berwarna coklat gelap. Iseng berkelakar, Ketut berasumsi mungkin ketika membuang kotoran, para bajing ini berbaris rapi karena memang lokasi ampas makanan mereka beruntun bak kereta. Pantai, Kemah, dan Pembalakan Setelah melampaui Tumpak Dawung, trek berubah dari tanjakan menjadi turunan tajam hingga Teluk Meru. Berbeda dengan Pantai Bandealit, pasir di Teluk Meru berwarna lebih putih, dihiasi pula oleh hamparan batu koral kecil yang berwarna-warni cantik. Namun sayang, teluk ini terlihat sedikit kotor akibat berbagai benda, macam sendal, bungkus mi dan makanan lain yang "terdampar" di pasir. Di bibir teluk, sebagian besar pohon-pohon tinggi telah meranggas daunnya. Sementara sepanjang mata memandang ke arah laut, tak terlihat kapal nelayan merapat atau menjauh. Hari telah senja, dan perjalanan harus ditunda hingga esok pagi. Lokasi bermalam yang dipilih adalah sebuah pondok sederhana yang terletak di samping sungai. Melihat sisa jejak yang ada, sepertinya beberapa malam sebelum Heni dan kawan-kawan menginap ada pula orang yang beristirahat di tempat itu. Keesokan paginya, petualangan dilanjutkan dengan trek berupa sungai yang sebagian masih dialiri air dan sebagian lagi kering. Di rute yang satu ini, beberapa kali dapat dijumpai bekas-bekas pohon yang telah ditebang. Dari diameter pangkal pohon yang kini tinggal setinggi dengkul pria dewasa itu, mengindikasikan bahwa pohon yang telah diambil tersebut cukup untuk dibuat kapal dan kemudian digelontorkan ke pantai. Tak hanya itu, beberapa kali juga ditemui kelompok yang terdiri atas tiga atau empat orang pria yang mengaku kehilangan perahu namun mereka membawa peralatan yang lazim digunakan untuk menangkap burung atau binatang hutan lainnya. "Mereka bohong, saya tidak percaya alasan mereka melintas di daerah ini hanya karena perahunya hilang. Mereka pasti mau menangkap binatang hutan, beruntung tidak sedang membawa tangkapan kalau bawa pasti sudah saya tangkap," kata Ketut membicarakan kelompok pria itu setelah berpapasan dengan mereka. Aksi pembalakan hutan semakin mencolok pemandangan mata ketika Ketut memandu Heni dan teman-teman mendekati Teluk Permisan. Kayu-kayu kecil tersusun mengikuti pola tertentu, dan Ketut menerangkan bahwa biasanya kapal yang dibuat dari kayu curian biasanya didorong ke muara kemudian ke pantai dengan bantuan kayu-kayu kecil itu. Permisan Teluk Permisan terbagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh dataran tinggi yang menjorok ke laut. Di kedua teluk ini, pemandangan pasir yang indah serta deburan lembut ombak merupakan pelepas lelah yang sangat menghibur setelah menyururi dataran hutan yang menanjak dan menurun. Biasanya, peserta trans Bandealit-Sukamade beristirahat dan bermalam di teluk ini sembari menyantap udang hasil tangkapan nelayan. Beberapa bekas tenda dan tempat membakar udang pun terlihat di tepi teluk. Di Permisan, susuran pantai tidak sejauh Teluk Meru. Hal lain yang membedakan adalah trek selepas Permisan jauh lebih sulit ketimbang beberapa trek sebelumnya. Ketut bahkan sempat mengingatkan bahwa lintasan yang bakal mereka lalui, tiga kali lipat lebih sulit, "Tanjakannya tanjakan cinta, turunannya juga turunan cinta," kata dia. Benar saja, derajat tanjakan selepas Teluk Permisan bisa mencapai 75 derajat! Lintasan hampir tegak itu berupa tanah liat dengan "tangga" berupa batu. Jarak yang biasanya dapat ditempuh dalam waktu lima menit, kini baru tercapai dengan susah payah selama 15 menit. Keadaan semakin sulit karena di kanan kiri jalan setapak itu juga tumbuh tanaman berduri yang bila tidak hati-hati dapat melukai kulit. Ditambah lagi turunan yang licin tanpa akar pohon yang dapat dimanfaatkan sebagai penahan kaki. Petualangan pun nyaris rampung ketika bunyi generator semakin santer terdengar. Semakin jelas di telinga, semakin dekat dengan Desa Sukamade, kata Ketut memompa semangat peserta trans. Ketika Heni dan teman-temannya tiba di Desa Sukamade, hari sudah malam dan generator yang suaranya menderu itu, ternyata menjadi sumber listrik untuk menyalakan lampu dan televisi penduduk setempat. Perjalanan yang melelahkan itu pun selesai dilalui. Meskipun tidak berjumpa dengan jejak-jejak Harimau Jawa, kepuasan telah menyelesaikan petualangan lintas hutan terlihat jelas di wajah-wajah lelah para peserta berikut pemandu. Boleh jadi Harimau Jawa masih tinggal di Meru Betiri, dan akibat luasnya kawasan maka sangat jarang orang bisa menjumpai bekas-bekas laluan binatang tersebut. Jarang bukan berarti tidak ada bukan? (Ella Syafputri) Foto: Pagi hari di Perkebunan Bandealit

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006