Jakarta (ANTARA News) - Sebagai bangsa, Indonesia patut berbangga karena sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia berhasil mencapai berbagai pencapaian penting dalam urusan demokrasi dan kesetaraan hak berpolitik.

Dari total 190 negara di dunia, Indonesia adalah satu dari tujuh negara yang memiliki perempuan sebagai presiden atau perdana menteri (Paxton, 2007). Hal ini bahkan tidak pernah terjadi di negerinya para pegiat demokrasi seperti Amerika Serikat.

Selain pernah menjadi pucuk pimpinan tertinggi, catatan perempuan berpolitik di Indonesia juga bukan hanya terekam dalam satu atau dua dekade terakhir.

Di tahun 1820, John Crawfurd mencatat bahwa di Sulawesi Selatan pada saat itu “para pria berkonsultasi dengan perempuan untuk semua urusan publik. Perempuan juga kerap diangkat sebagai pemegang tahta, ketika monarki bersifat boleh dipilih.”

Peranan perempuan di arena politik bagi masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan, terpantul jelas dari institusi yang disebut dengan ada’ baine di mana perempuan berperan sebagai mitra laki-laki dalam dewan pemerintahan tradisional.

Seperti ditulis Rottger-Rossler di bukunya pada tahun 2000, perempuan Makassar adalah mediator antara masyarakat umum dan para pemimpin setempat.

Uniknya lagi, di masyarakat Makassar, perempuan turut menentukan posisi sosial pasangan. Semakin tinggi status sosial istri, semakin terdongkrak pula tingkat sosial suaminya.

Sementara itu di Jawa, perempuan cenderung menguatkan peran politiknya di tataran domestik (Handayani dan Novianto, 2004). Sebuah pepatah Jawa menyebutkan bahwa “apik ing suami gumantung istri, apik ing anak gumantung ibu”, yang kurang lebih berarti bagus atau buruknya suami dan anak merupakan cerminan dari istri dan ibu mereka.

Meski “berkuasa” di lini domestik dan tidak terlalu tampil di ruang politik publik, perempuan Jawa sejatinya aktif berpolitik selaku pemilih di dalam pemilu, ikut dalam kampanye partai politik, dan melobi pembahasan undang-undang terkait dengan pornografi dan perlindungan anak.

Masa Kemerdekaan

Peran aktif perempuan Indonesia dalam politik juga terekam jelas pada periode perjuangan kemerdekaan dari Belanda tahun 1930-an hingga 1940-an (Bessel, 2004).

Kesetaraan hak berpolitik antara kaum pria dan perempuan juga terus berlanjut setelah Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Perempuan telah mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum sejak tahun 1945 (Idrus dan Davies, 2010).

Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 juga sangat bernafaskan semangat kesetaraan laki-laki dan perempuan, di mana negara menjamin hak perempuan agar bisa berkiprah di semua bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan politik.

Namun fakta di lapangan menunjukkan perkembangan yang mendekati kata ideal. Meskipun sejarah keterlibatan perempuan Indonesia dalam politik sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, angka partisipasi perempuan di parlemen ternyata masih terbilang rendah. Berikut adalah kursi DPR yang dimiliki perempuan dan periode waktu seperti dikutip dari laporan IPU (Inter-Parliamentary Union):
 
Pemilu tahun 1955: 5,9% (Data dari UNDP, 2010)
Pemilu tahun 1971: 7,17%, 33 perempuan dari total 460
Pemilu tahun 1977: 7,39%, 34 perempuan dari total 460
Pemilu tahun 1982: 8,26%, 38 perempuan dari total 460
Pemilu tahun 1987: 11,4%, 57 perempuan dari total 500
Pemilu tahun 1992: 12,2%, 61 perempuan dari total 500
Pemilu tahun 1997: 11,4%, 57 perempuan dari total 500
Pemilu tahun 1999: 8%, 40 perempuan dari total 500
Pemilu tahun 2004: 11,2%, 62 perempuan dari total 550
Pemilu tahun 2009: 18,6%, 104 perempuan dari total 560

Peta parlemen dengan karakteristik gender seperti ini menempatkan Indonesia di kluster negara dengan peringkat 82 untuk hal rasio perempuan di parlemen. Indonesia satu tingkat lebih tinggi daripada Amerika Serikat (18,3%), di mana jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen adalah 79 orang dari total 432 kursi (IPU, 2012).

Arus Perubahan

Seiring dengan transisi yang sedang bergulir di Tanah Air, berbagai ide tentang perubahan juga terus menguat. Salah satu arus perubahan itu adalah mengupayakan agar masyarakat—khususnya perempuan—semakin terlibat dalam tata kelola pemerintahan dan berpolitik secara aktif di parlemen.

Salah satu strategi untuk memperbaiki ketidakseimbangan gender di politik parlemen adalah kuota tidak wajib bagi setiap partai politik untuk minimal memiliki 30 persen calon anggota perempuan di tingkat nasional, provinsi, dan lokal di masing-masing daerah pemilihan umum (UNDP, 2010). Kuota ini termaktub dalam Pasal 65 UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.

Tetapi nampaknya strategi itu kurang menunjukkan hasil yang maksimal, sehingga ikhwal kuota 30 persen ditingkatkan kadarnya menjadi wajib. Seperti dikutip dari Pasal 53 UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, “Daftar bakal calon … memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.”

Biarpun terkesan sangat mengupayakan agar perempuan bisa semakin banyak menjadi anggota parlemen, kelemahan dari Undang-undang ini adalah tidak adanya sanksi bagi partai yang tidak mematuhi ketentuan kuota. Terbukti enam dari 38 partai yang ikut Pemilu 2009 gagal memenuhi kuota ini (UNDP, 2010).

Sementara itu mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Khofifah Indar Parawansa (48) berpendapat, “Kita start terlambat, sehingga keterwakilan perempuan di dalam trias politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sangat rendah.”

Di lembaga eksekutif, dari total kepala desa di Indonesia, hanya ada 3,91 persen yang perempuan (BPS, 2010). Kementerian Dalam Negeri (2010) juga mencatat pada akhir tahun 2009, hanya ada satu dari 33 gubernur terpilih yang perempuan. Dari total 440 jabatan bupati/walikota hanya 2,27 persen yang diemban oleh perempuan.

Jenjang karir perempuan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga terlihat “mentok” di eselon 2 karena 91,3 persen pemangku jabatan eselon 1 dipegang oleh laki-laki, padahal di eselon 2 terdapat 45 persen perempuan dan 55 persen laki-laki (Badan Kepegawaian Nasional, 2009).

Untuk lembaga yudikatif, keterwakilan perempuan di Mahkamah Agung juga sangatlah kecil. Data tahun 2010 menunjukkan tidak ada perempuan yang duduk sebagai hakim agung, yang ada hanya 15,8 persen perempuan di tingkat eselon 2 Mahkamah Agung.

Rasio gender sebagai hakim juga masih timpang, di mana 76 persen hakim di peradilan sipil adalah laki-laki dan 24 persen perempuan.

Akselerasi

“Yang kita butuhkan sekarang adalah proses akselerasi yang mendorong perempuan bisa lebih terlibat di politik,” ujar Khofifah kepada Antara (14/3).

Lebih lanjut Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI periode 2004--2006 itu mengaku kurang sepakat dengan istilah kuota bagi perempuan untuk menjadi caleg, karena kata itu mengesankan jatah untuk perempuan berpolitik.

“Tapi saya juga paham bahwa proses politik tidak bisa sim-sala-bim, harus ada check point agar perempuan terlibat dulu di pengurus harian partai politik baru bisa dicalonkan sebagai kandidat anggota legislatif,” katanya.

Bahkan ketika sudah menduduki posisi anggota dewan, perempuan harus diberikan penguatan agar bisa lebih banyak menyampaikan aspirasi masyarakat, tambah Khofifah.

“Saat ini anggota legislatif yang pendapatnya dimuat di media massa sebagai news maker masih sangat sedikit. Jadi kita harus terus meningkatkan partisipasi dan kapasitas perempuan berpolitik,” pungkasnya.

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014