Mulai dari pemilik toko, asongan, warung, dan pekerja industri rokok menggantungkan hidupnya dari kretek,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Industri kretek ikut membangun jaringan ekonomi yang cukup luas di Indonesia pada awal abad ke-20, kata peneliti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sri Margana.

"Mulai dari pemilik toko, asongan, warung, dan pekerja industri rokok menggantungkan hidupnya dari kretek," kata Margana pada peluncuran buku karyanya berjudul Kretek Indonesia Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya, di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, industri kretek dulu pernah menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda saat terjadi depresi ekonomi tahun 1930-an. Pada saat itu semua perusahaan besar milik Hindia Belanda hancur dihantam depresi ekonomi.

Industri kretek yang berbasis di desa dan dalam skala rumahan pada saat itu justru mengalami perkembangan yang sangat pesat. Satu-satunya industri milik pribumi adalah industri kretek.

"Namun, kita tidak akan menemukan orang pribumi menjadi direktur perusahaan-perusahaan besar pada saat itu," kata sejarawan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu.

Ia mengatakan pada saat itu industri kretek sebagai sumber ekonomi para pribumi. Hal itu disebabkan dari hulu ke hilir, seluruh bahan baku pembuatan kretek berasal dari orang-orang pribumi.

"Jika pada industri kolonial orang-orang pribumi hanya menjadi kuli, tidak demikian dengan industri kretek," kata doktor lulusan Leiden University, Belanda, itu.

Menurut dia, kretek sebagai warisan budaya masyarakat pribumi justru terdapat pada rasa dan aroma khasnya. Keunikan itu yang bisa mengkategorikan kretek sebagai warisan budaya.

"Apalagi ramuan dalam setiap merek diwariskan secara turun-temurun," kata Ketua Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM itu.

Ia mengatakan gagasan menulis buku itu timbul dari keinginan menambah khasanah kajian kretek di Indonesia. Buku itu tidak ingin terjebak pada kebijakan kesehatan atau mendukung industri rokok.

"Buku itu merupakan penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang terjadi pada industri kretek di Indonesia pada awal abad ke-20," kata Margana.

Perwakilan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Dianita Sugiyo mengatakan zat-zat adiktif dalam rokok berbahaya bagi kesehatan manusia.

"Asap rokok yang dihasilkan dari pembakaran rokok mencapai 16,9 mikrogram per batang. Padahal, untuk mengiritasi mata cukup dengan 58 mikrogram," katanya.

(B015/M008)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014