Palu (ANTARA News) - Solidaritas Masyarakat Anti-Hukuman Mati (SMAHT) Indonesia mengirim laporan kedaruratan (emergency report) mengenai Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu yang menjadi terpidana mati kasus kerusuhan Poso ke Parlemen Uni Eropa (UE). Lian Gogali, juru bicara SMAHT, kepada ANTARA News di Palu, Sulawesi Tengah, mengemukakan bahwa emergency report tersebut juga disampaikan kepada Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) dan Komunitas HAM Internasional, agar memberikan perhatian serius terhadap kasus Poso, khususnya penetapan vonis mati kepada Tibo dan kawan-kawan (dkk). Emergency report itu, menurut dia, berisi empat poin, yakni menyebutkan putusan hukuman mati terhadap Tibo dkk melalui proses hukum yang cacat, putusan hukuman mati berdasarkan kepentingan politik, negara Indonesia tidak konsisten dengan semangat pemajuan HAM, serta telah terjadi pelanggaran HAM, menciptakan instabilitas Indonesia dan dunia internasional. Soal proses hukum yang cacat terhadap ketiga terpidana, SMAHT menjelaskan mengenai proses penangkapan yang dilakukan oleh tentara melalui seorang pendeta improsedural, yang awalnya dimaksudkan hanya untuk meminta keterangan dari ketiganya. Proses pelaksanaan peradilan ketiga terpidana di Pengadilan Negeri (PN) Palu, menurut institusi tersebut, berada di bawah tekanan massa, antara lain ditandai dengan cara melempari, meneriaki, mengancam ketiganya selama proses persidangan berlangsung, serta hanya proses sidang berlangsung hanya selama satu bulan. Artinya, menurut dia, prosedur yang wajar tidak dilakukan dengan memberikan hak kepada terdakwa untuk mempersiapkan setiap proses guna kepentingan pembelaan. Pengacara yang menjadi pembelanya, dalam catatan SMAHT, adalah "tunjukan" polisi, yang justru melakukan pemerasan sejumlah Rp150.000 kepada ketiganya dengan alasan untuk meringankan dan membebaskan dari tuduhan, serta menghadirkan saksi-saksi yang tidak hanya memberatkan, tapi juga tak mengetahui konflik Poso. Selain itu, SMAHT menilai, putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan saksi yang meringankan, termasuk tak mempertimbangkan atau mengabaikan novum (bukti baru) berisi pembuktian ketidakterlibatan ketiganya dalam peristiwa yang dituduhkan. SMATH juga menilai, telah berlangsung upaya penguburan fakta keterlibatan militer (TNI dan Polisi) dalam konflik Poso dengan mengalihkan tanggung jawab konflik pada masyarakat biasa, seperti yang menyeret Fabianus Tibo, Marinus Riwu, Dominggus Da Silva. Lembaga tersebut mencatat pula, pelaksanaan eksekusi mati Tibo dkk adalah bagian dari strategi politik penyingkiran pelaku konflik berdarah di Poso dan sekitarnya. Politik penyingkiran yang dimaksud SMAHT berkaitan dengan belum tuntasnya penyelidikan terhadap 16 nama yang direkomendasikan oleh ketiganya sebagai pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa di Masjid Sintuwulembah yang berada di pinggiran kota Poso, padahal memungkinkan bisa menangkap pelaku ntelektual di balik beragam konflik kekerasan di Poso. SMAHT juga mensinyalir adanya indikasi untuk mengeskalasikan kembali kekerasan Poso dengan mengeksploitir isu rencana eksekusi mati atas Tibo dkk. "Ini terlihat dari respon fisik dan teror psikologi yang sangat berbeda yang melibatkan dua kelompok agama di Poso dan Palu maupun daerah sekitarnya," demikian laporan SMAHT. Respon yang menggunakan identitas agama tersebut, dinilai SMAHT, dipastikan sangat berbahaya bagi masa depan perdamaian di Poso pasca konflik berdarah sejak pecah pertama kali Desember 1998, termasuk menutupi kemungkinan dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPFI) Poso yang diusulkan oleh para aktivis HAM. "Kebenaran di Poso mesti ditegakkan," demikian Lian Gogali. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006