Tbilisi (ANTARA News) - Rusia, Jumat, memulangkan sepesawat terbang penuh warga Georgia yang ada di Moskow secara tidak sah tapi Tbilisi mengatakan Kremlin sekarang menambahkan bentuk lunak "pembasmian etnik" pada sanksinya terhadap tetangganya yang pro-Barat itu. Presiden Rusia Vladmimir Putin, yang mendapat tekanan internasional untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan pada Georgia, memukul balik dengan mengatakan Barat sebaiknya malah memusatkan perhatian untuk meyakinkan Tbilisi agar mengubah kebijakan "tidak bertanggungjawab"nya. Rusia telah memutuskan semua hubungan pos dan angkutan dengan Georgia, berhenti mengeluarkan visa masuk pada warga Georgia, dan menggerebek bisnis milik orang-Georgia di Moskow karena perselisihan mengenai penangkapan Tbilisi bulan lalu atas empat tentara Rusia yang dituduh melakukan kegiatan mata-mata. Para tentara itu telah dibebaskan tapi penangkapan mereka telah menyalakan ketegangan yang membara antara kedua negara itu, yang telah berselisih selama beberapa tahun karena keinginan Georgia untuk melangkah lebih dekat ke Barat dan permusuhan Tbilisi pada kepemimpinan Rusia. Ke-136 warga Georgia yang dipulangkan itu tampak sangat letih, beberapa dengan air mata di mata mereka, berjalan menuruni jalan melandai dari belakang sebuah pesawat kargo Ilyushin yang sangat besar setelah tiba di bandara Tbilisi. Seorang wartawan Reuters melihat seorang wanita jatuh berlutut dan mencium landasan. Para pejabat Rusia mengatakan mereka diusir karena tidak memiliki dokumen yang benar, tapi beberapa orang memperlihatkan pada wartawan paspor mereka dengan visa masuk Rusia yang sah. "Ini mengerikan, kami merasa seperti orang Yahudi pada saat Perang Dunia II, tidak seperti manusia," kata seorang yang dipulangkan, yang memberikan namanya sebagai Irina. Sebanyak satu juta orang Georgia tinggal dan bekerja di Rusia, banyak tanpa izin. Pengiriman uang mereka merupakan sumbangan penting pada ekonomi Georgia yang menderita karena pengangguran yang tinggi. "Apa yang Rusia lakukan...merupakan bentuk lunak dari pembasmian etnik," kata Menlu Gela Bezhuashvili pada wartawan. Para diplomat mengkhawatirkan perselisihan antara Tbilisi dan Moskow itu dapat meningkatkan risiko bentrokan di Abkhazia dan Ossetia Selatan, dua wilayah yang memutuskan bebas dari kekuasaan pusat Georgia pada awal 1990-an dan menyetujui hubungan yang lebih dekat dengan Rusia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006