Jakarta, (ANTARA News) - Delegasi Indonesia dalam Konverensi Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change - UNFCCC) 2006 yang akan diselenggarakan pada 6-17 November di Nairobi, Kenya, akan mengusung isu-isu seputar keberadaan hutan terkait upaya pengendalian pemanasan global. Dalam wawancara dengan ANTARA di Jakarta, Jumat pagi (4/11), Dadang Hilman, salah satu anggota delegasi pertemuan dari unsur Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), menyebutkan bahwa kehutanan diperkirakan menjadi isu yang bakal diperdebatkan oleh banyak pihak dalam forum tersebut. Ia juga menjelaskan isu lain yang menjadi agenda negosiasi Indonesia dalam perhelatan tahunan itu adalah dana adaptasi ('adaptation fund'), yang hingga kini pelaksanaannya masih terkesan sulit dan berbelit-belit. Berikut petikan wawancara dengan Dadang Hilman: ANTARA: Apa agenda yang akan dibawa perwakilan Indonesia dalam Konverensi Perubahan Iklim tahun ini? Dadang Hilman: Indonesia akan mengagendakan isu kehutanan yang kami perkirakan bakal hangat dibicarakan oleh banyak pihak, bukan hanya yang terkait soal kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara, tapi juga hilangnya lahan tropis dan kecepatan pengurangan luas hutan dunia. Sebenarnya isu ini sudah diangkat oleh Costa Rica dan Papua New Gunea (PNG) pada tahun lalu, yakni tentang upaya menghindari penggundulan hutan ('avoid deforestation' - AD). Namun karena banyaknya isu, negara-negara pemilik hutan tropis berupaya membentuk sebuah koalisi khusus untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Indonesia sendiri telah ditawari untuk bergabung dengan koalisi tersebut, tapi status kita masih pikir-pikir. Seperti telah diketahui, kebanyakan negara pemilik hutan tropis memandang hutan sebagai sumber daya, dan mengambil hasilnya untuk kebutuhan ekonomi, sementara dunia membutuhkan keberadaan hutan itu tetap terjaga sebagai paru-paru dunia dan diharapkan dapat meredam laju pemanasan global akibat efek rumah kaca. ANTARA: Koalisi negara pemilik hutan tropis ini, apa tujuannya? DH: Yaa ... diharapkan ada mekanisme kompensasi dari negara-negara maju agar para pemilik hutan tropis dunia tidak menggunduli hutannya atas tujuan-tujuan ekonomi. Indonesia dalam hal ini akan menyamakan posisi hingga setara, mencari persamaan kepentingan di ANTARA sesama negara pemilik hutan tropis . Kecenderungannya, Indonesia akan bergabung dengan koalisi ini, mengingat berbagai kesamaan kepentingan yang diperjuangkan. ANTARA: Bagaimana dengan proposal perdagangan karbon (Clean Development Mechanism-CDM) Sudah sampai tahap apa sekarang ini? DH: Konsep perdagangan karbon telah lebih lama terbangun lewat Protokol Kyoto. Bedanya CDM dengan AD adalah lahan yang dimaksud CDM merupakan lahan hutan yang sudah rusak lalu ditanami kembali (penghijauan), berapa kemampuan hutan itu menyerap karbon kemudian dijual kepada negara-negara maju dalam bentuk sertifikat (CR). Sementara AD adalah upaya untuk mencegah penggundulan hutan akibat diambil hasilnya sebagai sumber-sumber ekonomi. Dalam mekanisme perdagangan karbon hingga bulan lalu, posisi Indonesia adalah di penyelesaian tahap akhir. ANTARA: Berapa proyek CDM yang akan dilaksanakan di Indonesia? DH: Sudah ada 8-10 proyek yang terdaftar, dan enam di ANTARAnya sudah berada di tingkat internasional. Walaupun jumlah proyek CDM Indonesia tergolong jauh lebih sedikit dibandingkan Cina dan India. Cina punya sekitar 100 program sementara India lebih dari 700, tapi jumlah karbon yang akan dikurangi proyek CDM Indonesia sangatlah besar, terutama setelah Indocement masuk diperkirakan bakal mengurangi 1,5-2 juta ton karbon per tahun. Di lain pihak, kita memang harus akui bahwa Cina dan India sangat bergiat mendapatkan proyek CDM untuk negerinya, itu berangkat dari dukungan sumber daya manusia dan itikad politik pemerintahnya yang sudah menyadari arti penting program ini. ANTARA: Pertemuan ke-12 Konverensi Perubahan Iklim 2006 akan mencari langkah-langkah lanjut dari kesepakatan Protokol Kyoto. Kira-kira apa langkah lanjut yang bakal diambil? DH: Pertama CDM itu sudah final, tinggal agenda peninjauan ulang soal tuntutan pemerataan proyek. Sampai saat ini proyek CDM lebih banyak dilakukan di negara-negara yang relatif besar, seperti Cina, India, dan Brazil. Ada tuntutan agar proyek CDM dilaksanakan pula di negara-negara kecil sehingga merata ke seluruh dunia. Isu lain yang juga harus ditindaklanjuti adalah dana adaptasi yang diambil 2 persen dari biaya sertifikasi perdagangan karbon. Polusi akibat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh negara-negara maju berada di atmosfer selama beberapa dekade, dan diperlukan dana adaptasi agar negara-negara pemilik hutan bisa melaksanakan program yang mendukung keberadaan hutan. Hingga saat ini memang sudah ada komitmen dari negara-negara maju untuk memberikan dana adaptasi tersebut. Namun dalam praktiknya, proses untuk mendapatkan dana adaptasi ini terkesan sangat sulit dan berbelit-belit, sehingga kami menginginkan agar proses tersebut dipermudah. ANTARA: Apa lagi langkah lanjut yang akan diambil? DH: Salah satu agenda hangat adalah mekanisme pembiayaan pengendalian perubahan iklim, 'Cost Beyond 2012'. Bila pada periode tahun 2008-2012 telah disepakati mekanisme ANTARA lain CDM, bagaimana untuk periode pasca 2012. Apakah akan menggunakan mekanisme yang sama atau benar-benar baru? Sebab kecenderungannya nanti setelah tahun 2012 emisi gas rumah kaca dari negara-negara maju mengalami penurunan, sementara emisi dari negara berkembang seperti Cina, India, Brazil, Mexico, dan Korea Selatan, justru meningkat. Kecenderungan inilah yang akan diantisipasi, dan Indonesia sudah mulai dilibatkan dalam berbagai pembicaraan terkait hal itu. Peluang itu digunakan Indonesia untuk melakukan perbaikan internal. Selain, menjadikan Indonesia terlibat sejak dini agar bersiap menghadapi kecenderungan perubahan volume emisi gas rumah kaca. ANTARA: Apakah tujuan Protokol Kyoto bakal tercapai, mengingat Amerika Serikat dan Australia tetap enggan bergabung dalam kerjasama internasional ini? DH: Masalah partisipasi Amerika dan Australia memang tidak bisa dipaksakan, itu adalah hak masing-masing negara. Ketidaksertaan mereka tentu mengucilkan kedua negara itu dalam hal hubungan politik, dan dalam sidang-sidang pembahasan Perubahan Iklim ini mereka memang disindir-sindir tapi yaa cuma bisa begitu saja. ANTARA: Delegasi Indonesia dalam konverensi ini nanti terdiri atas unsur-unsur mana saja? DH: KLH, Departemen Luar Negeri, Departemen Kehutanan, PLN, LSM, dan Bappenas. Kami sebenarnya sangat menyayangkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak berpartisipasi dalam pertemuan ini. Teman-teman di ESDM terkesan menanggap enteng isu perubahan iklim, sangat berbeda dengan Departemen Kehutanan, yang secara aktif mencari peluang dalam ajang ini.(*)

Copyright © ANTARA 2006