Oleh Musthafa Luthfi Sana`a (ANTARA News) - "Mereka akan tetap ketakutan meskipun Saddam sudah masuk di liang kubur", begitu judul sebuah artikel bombastis yang ditulis seorang analis Arab di salah satu harian, Senin (6/11), menyusul vonis hukuman mati gantung bagi Saddam Husein pada hari sebelumnya. Mahkamah Irak, Minggu (5/11), memutuskan hukuman mati gantung kepada bekas diktator Irak tersebut bersama dua pembantu dekatnya yakni Barzan Al-Tikriti, saudara tirinya yang mantan Kepala Intelijen, dan Awad Al-Bandar, mantan Hakim Agung. Sedangkan lima lainnya dari tujuh orang pembantu dekat Saddam yang diadili secara bersamaan, mantan wakil presidan Taha Yassin Ramadhan dijatuhi vonis penjara seumur hidup, tiga lainnya divonis penjara 15 tahun dan seorang lagi dinyatakan tidak bersalah. Artikel yang ditulis Prof. Abdul Bari Athwan di harian Al-Quds Al-Arabi itu sebagai ungkapan tentang "bencana" yang belum akan berakhir bagi rakyat negeri kisah 1001 malam itu meskipun akhirnya Saddam nantinya tetap dihukum gantung. Yang diungkapkan analis independen Arab yang mukim di London itu bukanlah mengada-ada karena situasi yang mewarnai keputusan Mahkamah Khusus buatan pendudukan AS itu mengisyaratkan Irak akan bertambah "berdarah-darah" pasca kematian Saddam. Jadi tidak berlebihan bila Saddam akan tetap menghantui negeri Babilonia itu baik ia telah tiada atau pun nantinya pengadilan banding memutuskan lain, seperti hukuman penjara seumur hidup. Terlepas dari pro dan kontra atas keabsahan pengadilan tersebut, yang jelas keputusan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena sejak awal sidang sekitar 11 bulan lalu sudah banyak pihak yang memprediksikan bekas penguasa absolut Irak itu bakal divonis mati. Yang sedikit mengejutkan adalah momentum pengumuman vonis itu yang dinilai sangat tidak tepat waktu karena situasi di dalam negeri sedang menjurus kepada perang saudara sektarian terutama antara mazhab Syiah dan Sunni. Upaya sejumlah pemuka agama dari kedua mazhab tersebut untuk mengatasi pertumpahan darah antar golongan, lewat penandatangan naskah persetujuan di Mekkah pada 20 Oktober lalu tidak membuahkan kemajuan apapun. "Watsiqah" (dokumen) Mekkah itu ternyata sekadar hitam di atas putih karena aksi kekerasan justeru memuncak bahkan pada bulan Oktober kemarin merupakan bulan paling berdarah sepanjang tahun 2006 termasuk bagi tentara AS yang kehilangan 105 orang tentaranya. Mengkhawatirkan Keberadaan Saddam selama masa persidangan yang hampir setahun itu tetap sebagai sosok yang selalu mengkhawatirkan pemerintahan Irak. Mengingat bekas petinggi-petinggi partai Ba`as yang masih setia kepadanya bersama milisi Sunni anti pendudukan AS tidak setuju dengan pengadilan pemerintahan "boneka" AS. Saddam masih akan tetap sebagai simbol perlawanan terhadap pendudukan yang telah menelan korban jiwa rakyat sipil jauh lebih banyak ketimbang korban yang ditimbulkan Saddam atas lawan-lawan politik dan pendukung mereka selama masa kekuasaanya. Sumber terpercaya menyebutkan lebih dari 650 ribu orang sipil tewas, puluhan ribu luka-luka selama pendudukan sejak 3,5 tahun lalu dan setiap hari puluhan rakyat sipil menjadi korban aksi kekerasan dan balas dendam di samping mayat-mayat tak dikenal hampir tiap hari ditemukan di jalan-jalan dan sungai. Sebulan sebelum vonis itu, PM Irak Nouri Al-Maliki sebenarnya telah memberikan sinyal dengan menyampaikan harapannya agar Saddam dijatuhkan hukuman mati. Vonis hukuman gantung atas mantan penguasa bertangan besi itu sedianya untuk menghilangkan kekhawatiran itu. "Sebulan sebelumnya Al-Maliki telah menyatakan harapannya agar Saddam dijatuhkan vonis mati. Tapi komentarnya yang terakhir menyangkut vonis itu aneh karena dalam suasana eskalasi aksi kekerasaan sekterian," ujar Yassin Al-Zikra, pemerhati Arab kepada harian Aljumhuria, Senin (6/11). PM Nouri Al-Maliki mengatakan pasca vonis itu bahwa Saddam merupakan masa lalu. Namun sebenarnya komentar ini tak lebih sekedar menenangkan rakyat sebab ia juga memahami bahwa rakyat negeri itu terutama kaum Sunni dapat melihat bencana yang pernah ditimbulkan Saddam dengan bencana saat ini yang jauh lebih besar. Termasuk juga tuduhan bahwa kerabat dan kroni-kroni mantan penguasa Irak yang sekarang mengasingkan diri di luar negeri memiliki simpanan banyak di bank-bank Barat terutama di Swiss tidak terbukti. "Bahkan sebagian dari mereka hidup dengan bantuan terutama yang tinggal di Qatar, Suriah, Uni Emirat Arab dan Yordania. Jadi informasi yang didengungkan pemerintahan baru ini tentang mereka tidak terbukti," kata Abdul Bari Athwan. Sementara itu pemerintahan Irak saat ini dalam dua tahun belakangan terbukti melakukan korupsi 18 milyar dolar dari hasil minyak. Departemen Pertahanan dalam rentang waktu enam bulan melakukan korupsi 1 milyar dolar. Kasus itu muncul ke permukaan dan dilaporkan secara meluas oleh pers-pers dunia, itu diduga karena terjadi perselisihan dalam pembagian jatah para oknum koruptor negeri itu. Karena itu, vonis itu juga diduga oleh banyak kalangan sebagai usaha pemerintahan Maliki untuk mengalihkan perhatian rakyat atas bencana yang tak bertepi yang mereka alami akibat pendudukan tersebut. Pemilu Yang lebih memancing perang saudara lagi adalah apabila vonis itu terkait dengan momentum pemilu sela untuk anggota Kongres dan Senat AS. Bila opini ini meluas di kelompok Sunni dan pendukung setia Saddam maka dipastikan bahwa negeri Babilonia ini di ujung tanduk perang sektarian. Dugaan terkait pemilu AS memang beralasan mengingat perhatian besar negeri adidaya itu terhadap vonis tersebut. Tuduhan pemerintah Irak intervensi terhadap keputusan tersebut juga diperkuat oleh Human Rights Watch AS. Tim pembela Saddam juga menghujat hakim yang sengaja memilih waktu pembacaan keputusan beberapa hari saja sebelum pemilu sela pada saat Partai Republik AS kewalahan akibat kebijakan di Irak. Dugaan itu juga dapat dilihat dari pembacaan vonis yang terkesan tergesa-gesa tanpa memberikan waktu yang cukup untuk tersangka dan tim pembela. Bahkan mantan Jaksa Agung AS, Ramsey Clark selaku salah satu anggota tim pembela diusir oleh Hakim Raouf Abdulrahman. "Pembacaan putusan hakim tentang kasus besar seperti itu kok seperti adegan di film saja, sangat cepat dan tergesa," kata Ny. Bushra Al-Khalil dari Amman, Yordania, kepada stasion TV Alrabiya, Dubai Minggu (5/11) malam. Ia pernah sebagai anggota tim pembela dan menilai pengadilan itu sebagai adegan politik semata. Analis Arab asal Mesir Dr. Hassan Hanafi kepada TV Aljazeera Qatar Minggu malam, juga sependapat bahwa sulit menyebutkan pengadilan tersebut sesuai prosedur karena memang berada di bawah pengaruh pendudukan. Ia sependapat dengan analis lainnya yang menyebutnya sebagai sekadar pengadilan politis. "Bila menginginkan keadilan dan mantan Presiden Saddam memang pantas diadili seharusnya pengadilan disponsori oleh PBB. Vonis ini sama saja dengan menyiram bensin di atas bara api perang sektarian," tulis harian Al-Sahrq, Qatar, dalam tajuknya, Senin (6/11). Tidak berlebihan bila suatu saat nanti AS dan pemerintah Irak menyesal akan dampak vonis itu sebagaimana menyesal mengagresi Irak akibat salah perhitungan. Sebab Saddam sebagai simbol perlawanan terhadap arogansi AS akan tetap menghantui Irak baik masih hidup maupun setelah menjalani hukuman mati.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006