Oleh Bob Widyahartono *) Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2007 yang dalam horoskop China dikenal sebagai tahun babi pastilah membawa tekad baru dalam kerja keras dan cerdas (work hard and smart) lebih baik, lebih bermutu dan kredibel/etis. Masyarakat negeri ini harusnya semua termauk kaum elite dibandingkan tahun sebelumnya, serta memasuki awal tahun baru dengan tekad segar yang diyakini, meskipun banyak manusia elite tidak cukup gigih atau bosanan tidak lama kemudian. Elitisme, sebagai pengertian (notion) teoretik artinya bahwa yang terhitung "sedikit" (the few) harus memerintah, karena menganggap diri dalam realita yang paling kompeten memerintah "yang banyak" (the many). Para elitis kemudian disebut atau menyebut diri sebagai "kelas yang memerintah" (the ruling class). Terdapat sorotan bahwa para anggota elite hanya menekuni sejumlah kepentingan kelompok mereka sebagai akibat solidaritas kelompok secara implisit atau eksplisit. Solidaritas itu diekspresikan dalam suatu tekad bersama untuk bertindak (common will to action) dengan atau tanpa sikap moral. Jadi, yang menjadi kepentingan adalah segi penawaran dan penonjolan diri dan kelompok dengan memarginalkan konstituen sebagai segi permintaannya (supply side is more important). Formula penyerapan oleh para anggota elit yang menjadi anutan dibungkus dalam "tiga C": Group consciousness, coherence dan conspiracy (kesadaran kelompok, koherensi dan konspirasi). Dengan rumusan tersebut, maka validitas bobot elitis dikenal sebagai the iron rule of oligarchy yang pada gilirannya membuat demokrasi dalam arti yang sebenarnya tidak berfungsi (inoperative). Hal selama ini dikenal adalah monarki sebagai bentuk kepermintahan kerajaan atau kekaisaran, sedangkan oligarki adalah sebagai bentuk "kepemerintahan di tangan beberapa" (rule of the few). Kepemerintahan monarki memangnya "top-down" sifatnya. Tapi, masyarakat hendaknya jangan lupa bahwa koalisi dalam sejarahnya cenderung mengabaikan apa yang dikenal sebagai "budaya berdemokrasi" (democratic way of life). Para oligarkis banyak kali berargumentasi bahwa budaya berdemokrasi itu jauh dari efisien, tidak konsisten dan tidak memiliki ketegasan. Hal yang mereka sanggah adalah bahwa budaya berdemokrasi hanya suatu "cara mengerjakan sesuatu" (way of doing things) dan bukan mencapai serangkaian sasaran demi konstituen, rakyat banyak. Logikanya pemahaman yang normal tentang "yang sedikit" dan "yang banyak", "yang memerintah" dan "yang diperintah", dengan kesadaran ini membuat masyarakat makin rasional, dan tidak lagi bersikap hipokrit hingga lebih mudah memiliki independensi dalam berpikir. Apa benar ini juga yang diyakini oleh elite atau hanya sejumlah janji kosong? Ketika dihadapkan dengan gugatan, apakah serangkaian keputusan yang diambil para kelompok oligarkis/koalisi itu demokratis, maka sanggahannya adalah bahwa demokrasi itu merupakan suatu sikap pemikiran dengan asumsi adanya pembedaan antara bentuk dan substansi, antara teknik dan tujuan, serta hanya merupakan suatu "academic exercise". Kalau sudah seperti itu, maka esensi demokrasi menjadi dikebiri. Kelas elit politik biasanya serta merta menyatakan bahwa kelompoknya paling kompeten dan kredibel, karena menganggap anggota mereka paling fit untuk memerintah. Artinya, kelas oligarkis tersebut akan selalu berdalih dan melakukan pembenaran kekuasaannya atas landasan suatu abstraksi/model yang disebut road map (peta jalan) kebijakan dengan legalitas "demi kepentingan kesejahteraan rakyat yang dilayani". Benarkah hal tersebut, atau terjadi semacam eksploitasi kepercayaan konstituennya dan bahkan sampai pada rakyat kelas bawah? Maka, terbentuklah "sikap menutup tutupi dan mengelabui" sedemikian rupa hingga maslahat sosial dijadikan kemutlakan sosial (social utility becomes social necessity). Lalu kemana justifikasi moralnya? Hendaknya masyarakat jangan beranggapan bahwa kelas atau kelompok elite yang menjadi oligarkis akan terus langgeng dengan menyisihkan moralitas. Masyarakat jangan bahwa ketidaklanggengan tersebut merupakan akibat dari makin kritisnya masyarakat oleh kemajuan dalam pendidikan dan teknologi informasi yang makin membebaskan masyarakat kelas bawah (grass roots) dari sikap selalu "nurut manut". Di mana peranan kelas menengah? Dalam setiap rezim yang oligarkis, inteligensia disudutkan atau dipaksa menjadi elemen pelengkap. Inteligensia yang terhitung kelas menengah tidak tinggal diam dan pasti terus menggugat sebagai penjaga moral dan demokrasi. Manusia kelas menengah itu adalah intelektual, pelaku bisnis, media komunikator dan pemimpin non-formal yang independen, dalam arti tidak tergantung dalam mencari penghidupan dari kelas oligarki. Kelas menengah harus tetap eksis dalam masyarakat yang tetap patuh pada hukum sebagai patutnya dalam masyarakat sipil (civil society). Ada saja anggota kelas menengah yang terpaksa menjadi anggota elit legislatif maupun eksekutif, seolah manusia berjiwa demokrat, namun menikmati keistimewaan materiil kelas oligarki. Dalam berinteraksi dengan kelas menengah, para oligarkis itu bersikap curiga dan menolak mentah-mentah wacana dan filosofi kelas menengah yang independen dalam kebajikan (wisdom) dan pola pikir. Perjalanan masyarakat, terutama para elite dalam pengabdiannya kepada konstituen dan dalam bisnis kepada masyarakat pasar masih harus terus berlangsung menjadi manusia yang dalam proses meningkat benar-benar berkarakter, penuh dedikasi dan bertanggungjawab. (*) *) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat masalah ekonomi sosial; Dosen Senior Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006