Bireun Bayeun, Aceh Timur (ANTARA News) - Kondisi khas kawasan pesisir meniscayakan perlunya pemetaan yang jelas mengenai jenis mangrove yang ditanam, karena jika jenisnya tidak tepat berakibat pada gagalnya penanaman mangrove. Kondisi tersebut ditemui di kawasan pesisir Desa Kuala Parek, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Aceh Timur, Propinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah dihantam gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 dan lokasinya hanya berjarak 1.000 meter menuju Selat Malaka, yang hempasan gelombangnya cukup besar. Bersama Tim Independen yang diberi mandat Satuan Kerja (Satker) Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang melakukan observasi langsung program restorasi mangrove di kawasan itu, ANTARA Kamis melaporkan, di kawasan yang telah dihantam gelombang tsunami dua tahun lalu itu tampak mulai tumbuh tanaman mangrove untuk menggantikan yang mati dan rusak. "Kita perkirakan kegagalan penanaman mangrove untuk merehabilitasi kembali ini tingkat keberhasilannya 70 persen, dan selebihnya 30 persen sisanya gagal karena berbagai sebab, salah satunya karena jarak dengan Selat Malaka yang terpaan gelombangnya besar itu memang dekat," kata Hafid Yusuf, Kaur Umum Desa Kuala Parek di atas perahu motor tempel saat mendekati ujung Selat Malaka, kemarin. Dalam program Satker Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup untuk melakukan restorasi mangrove dan hutan pantai, setiap kelompok tani diberi mandat mengelola 50 hektar dengan total 125.000 bibit dengan jarak tanam 2X2 meter, dan 20 persen atau 7.500 bibit dicadangkan untuk "penyulaman" (mengganti bibit yang mati). Ketua Tim Independen observasi Ir Cut Maila Hanum, MP, yang juga staf pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Banda Aceh menjelaskan bahwa jenis yang tahan terhadap kondisi salinitas tinggi (kadar garam terlarut dalam air) di zona depan yang langsung berhadapan langsung dengan laut di kawasan itu adalah jenis "Avicennia" (nyampe). "Jenis `Avicennia` ini tahan terhadap kondisi salinitas tinggi dan itu terbukti di kawasan pantai-pantai di pesisir Aceh Timur ini," katanya. Namun, yang terjadi, jenis yang ditanam adalah "Rhizophora Apiculata", yang sebenarnya cocok untuk di kawasan zona Tengah, yang memiliki kondisi salilintas yang lebih rendah dari zona depan. Hal ini didukung oleh kehadiran tumbuhan pionir di sekitar lokasi tanam yakni jenis tumbuhan "nyampe" yang dominan di kawasan tersebut. Melihat kondisi nyata yang ditemui, kata dia, tim tersebut akan memberikan laporan sekaligus rekomendasi untuk program ke depan dalam kaitan restorasi mangrove di pesisir Aceh Timur itu diperlukan perencanaan "tapak" (tempat tumbuh) lebih matang untuk kecocokan jenis guna meminimalisir ketidakberhasilan dapat terus tumbuhnya mangrove yang ditanam. "Masih cukup banyak kawasan mangrove dalam keadaan rusak dan kritis yang masih perlu direhabilitasi, namun untuk ke depan harus direncanakan lebih matang untuk kecocokan jenis, termasuk faktor kegagalan akibat teknis penanaman yang kurang sesuai," kata Cut Maila Hanum. Sementara itu, dalam peninjauan di Desa Bireun Rayeuk, Kecamatan Bireun Bayeun, Kabupaten Aceh Timur, di kawasan ini masyarakat setempat banyak menggunakan tumbuhan mangrove untuk industri arang, yang di sepanjang kampung menjadi aktivitas warga. Sebanyak 50 hektar juga dialokasikan bantuan bibit mangrove yang dikelola Kelompok Tani "Ulee Mawar", yang pemimpin kelompoknya adalah mantan Panglima GAM--kini terwadahi dalam Komite Peralihan Aceh (KPA)--Junaedi yang populer dengan panggilan "Ateng". Namun, meski masyarakat setempat menggunakan mangrove yang ada untuk industri arang, dan punya nilai ekonomi yang menguntungkan, mereka menyatakan tidak merusak mangrove, karena selama puluhan tahun tetap terjaga meski dimanfaatkan. "Masyarakat di sini menebang mangrove dengan memilih bagian yang bisa dimanfaatkan, dan setelah ditebang tetap tumbuh tunas baru, sehingga kegiatan ini tidak merusak,` kata Zainuddin Abas, penjaga kawasan mangrove yang direhabilitasi. Diakuinya bahwa jenis "Rhizophora Apiculata" yang banyak tumbuh di kawasan itu adalah bahan baku terbaik untuk industri arang, yang telah di ekspor juga ke luar negeri seperti ke Malaysia. "Tapi, masyarakat tidak merusak karena sudah punya cara untuk memanfaatkan sekaligus menjaga mangrove agar tidak rusak," katanya. Sedangkan saat melalui kawasan yang dikelola Kelompok Tani "Ubebena", Desa Labuhan Kaeude, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Aceh Timur, sebanyak 17 hektar mangrovoe yang merupakan kawasan sambungan di bekas tambak yang ditinggalkan 5-8 tahun, kini juga sedang ditanam mangrove baru guna menggantikan yang sudah rusak tersebut.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006