Kabul (ANTARA News) - "Saya tidak mengetahui hari ini adalah Hari Perempuan Internasional, atau hari lain untuk menghormati perempuan; yang saya tahu mengenai perempuan ialah mereka mesti merawat suami dan anak mereka," kata seorang perempuan Afghanistan.

Perempuan berusia 30-an tahun dan tak bersedia menyebutkan namanya itu pun berbisik, "Ini pertama kali saya mendengar tentang Hari Perempuan Internasional dan apa artinya."

Di Afghanistan, tradisi sangat berurat-berakar, dan perempuan sering menolak untuk mengungkapkan nama mereka, tapi status perempuan di Afghanistan pasca-Taliban telah meningkat secara mencolok belakangan ini.

Perempuan mulai bekerja sebagai anggota parlemen, anggota kabinet, pegawai sipil dan pegiat hak asasi perempuan yang berjuang untuk menjamin kesetaraan dengan lelaki di dalam masyarakat yang konservatif.

Di "Afghanistan modern", perempuan terlibat di dunia seni, ekonomi dan kegiatan lain sosial termasuk menjadi penyanyi, juru foto dan seni peran, demikian laporan Xinhua.

Namun, upaya untuk memberdayakan perempuan di masyarakat telah sangat dipusatkan pada kota besar seperti Kabul, Ibu Kota Afghanistan.

Lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah dan kelompok pegiat hak asasi perempuan telah memperingati dan akan memperingati Hari Perempuan Internasional dengan menggelar lokakarya dan konferensi di Kabul serta kota besar lain, keduanya sebelum dan setelah tanggal resmi tersebut.

Meskipun demikian, banyak warga Afghanistan terutama di daerah pinggiran tempat tinggal kebanyakan warga, tidak mengetahui Hari Perempuan Internasional dan hak asasi perempuan secara umum.

"Saya tidak tahu mengenai Hari Perempuan Internasional dan apa artinya," kata seorang perempuan yang berusia 42 tahun dan mengemis di jalanan. Ia mengaku bernama Sayeda.

Di jalan berdebu di Kabul pada Sabtu (7/3), Sayeda --yang meminta sedekah-- berkata, "Tuntutan saya kepada pemerintah ialah mendukung janda dengan menyediakan lapangan kerja, dengan meluncurkan proyek yang memberi penghasilan rendah agar kaum perempuan bisa bekerja."

"Saya tak pernah diundang ke konferensi apa pun yang berkaitan dengan hak asasi perempuan, tak seorang pun pernah memberitahu saya mengenai hak saya di masyarakat. Suami saya meninggal dalam serangan bunuh diri di Kandahar tiga tahun lalu. Saya pindah ke Kabul untuk mencari kerja tapi gagal dan kemiskinan memaksa saya untuk meminta sedekah guna menunjang hidup anak-anak saya."

Seperti Sayeda, sejumlah perempuan dan anak perempuan miskin dapat dilihat sedang mengemis di jalanan Kabul setiap hari untuk memperoleh nafkah buat keluarga mereka.

Meskipun status perempuan telah meningkat di Afghanistan, perempuan dan anak perempuan masih menjadi sasaran kekerasan pada era pasca-Taliban di pedesaan Afghanistan, daerah yang seringkali tak mengenal hukum.

Namun, di kota besar termasuk Kabul, gangguan fisik juga sering dialami kaum perempuan dan anak perempuan di jalanan.

Untuk memprotes gangguan di jalan semacam itu, seorang pegiat hak asasi perempuan mengenakan pakaian lapis baja dan berjalan di jalan-jalan Kota Kabul pekan lalu untuk menarik perhatian pemerintah mengenai nasib buruk kaum perempuan.

"Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan tak memiliki tempat di jalan, di sekolah atau di universitas," kata Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani di dalam pidato pada Kamis (5/3), dalam satu konferensi mengenai dihormatinya hak asasi perempuan di masyarakat.

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015