Jakarta (ANTARA News) - Pegunungan gamping di Rembang, Jawa Tengah, termasuk dalam kawasan karst muda yang tidak mengandung air tanah sehingga dapat dikelola termasuk untuk kegiatan penambangan pabrik semen, kata pakar hidrologi Heru Hendrayana.

"Jadi, tidak ada masalah dalam membangun pabrik semen di Rembang. Keterangan saya ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah," kata pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu saat menjadi saksi ahli dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis, sebagaimana dikutip dalam siaran pers.

Sidang lanjutan perkara gugatan warga Rembang terhadap Gubernur Jawa Tengah terkait penerbitan izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia di Rembang itu dipimpin hakim ketua Susilowati Siahaan dan dua orang hakim anggota Husein Amir Effendi dan Desy Wulandari.

Heru mengatakan yang potensial air tanah adalah batu gamping yang banyak mengandung rongga yang saling berhubungan sehingga dapat membentuk saluran air di bawah permukaan.

Batu gamping seperti itu adanya di daerah yang proses kartstifikasinya telah berkembang secara lanjut. Misalnya di Gunung Sewu, Gunung Kidul, DIY.

Saksi ahli yang lain, ahli geologi dari UGM Eko Haryono menegaskan kawasan karst di Rembang tidak termasuk dalam bentangan alam karst yang dilindungi.

Di Indonenesia hanya ada tiga kawasan karst dilindungi, yaitu kawasan Sukolilo, Gunung Sewu, dan kawasan karst Gombong.

"Kawasan karst Rembang termasuk dalam katagori karst muda sehingga di lokasi itu dapat dilakukan pengelolaan atau budidaya apa pun termasuk penambangan," katanya.

Eko juga menjelaskan bahwa kawasan karst atau pegunungan kapur dapat ditanami kembali atau direklamasi setelah dilakukan penambangan.

"Pengalaman yang saya lakukan di Wanagama UGM, kami berhasil menghijaukan pegunungan kapur, bahkan menjadi hutan percontohan di tanah air," katanya.

Sementara itu Dr Suyud Warno Utomo dari UI menyatakan amdal yang sudah terbit dipastikan sudah melalui pengujian dan penilaian yang akurat dari sejumlah pakar di bidang masing-masing, baik dari tim penyusun, konsultan, maupun komisi amdal.

"Jadi, tidak mungkin dalam penyusunan amdal itu terjadi manipulasi atau menyembunyikan dampak besar bagi masyarakat, karena bakal diketahui sebelum dokumen amdal tersebut diterbitkan," katanya.

Dia juga menyebutkan dokumen yang sudah terbit tidak perlu ditolak jika terjadi kesalahan, melainkan cukup diperbaiki bersama.

Sementara pakar hukum administrasi negara Harsanto Nursadi menyatakan sosialisasi amdal tidak harus melibatkan seluruh masyarakat, melainkan cukup dengan asas keterwakilan.

"Tidak mungkin semua warga diundang dalam satu acara sosialisasi. Cukup dengan wakilnya saja," katanya.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015