Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karrus menilai terduga kasus pelanggaran kode etik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto justru bisa dipidanakan.

"Kami menilai Setya Novanto berkomplot dengan pengusaha untuk mencari rente demi memperkaya diri dan sudah bisa menjadi awal dugaan tindak pidana korupsi. Apalagi bukti pendukung sudah tersedia, dan kini tinggal bagaimana penegak hukum menyusun logika hukum untuk menjerat Setnov secara pidana," kata Lucius di Jakarta pada Jumat.

Kejaksaan Agung sedang mengusut dugaan permintaan saham oleh Ketua DPR Setya Novanto kepada PT Freeport Indonesia yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin bahkan langsung melanjutkan pemeriksaan di Kejaksaan Agung usai memberikan keterangan sebagai saksi di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Gedung Parlemen hingga Jumat (4/12/2015) dini hari.

Barang bukti berupa ponsel yang berisi rekaman pembicaraan antara Maroef, Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha M Riza Chalid, sudah diserahkan ke penyidik Jampidsus sejak Kamis pagi.

"Kejaksanaan Agung sedang mengumpulkan informasi dan bukti yang akan diverifikasi lagi sebelum menentukan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran pidana dalam kasus tersebut. Secara umum jika membaca transkrip rekaman, memang ada semacam petunjuk berupa upaya permintaan saham yang diduga bermotif memperkaya diri sendiri. Tindak pidana lain yang bisa diduga masuk ranah pidana adalah pencemaran nama baik atau pencatutan nama orang lain juga untuk melancarkan aksi mempengaruhi Freeport untuk menyukseskan pencarian rente," kata Lucius.

Apalagi, kata Lucius, syarat-syarat pidana berupa kelengkapan bukti sudah tersedia. "Jika rekaman ini bisa dijadikan bukti, maka jalan untuk menggelar kasus ini dalam ranah pidana menjadi terbuka," katanya.

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015