Poso, Sulteng (ANTARA News) - Orang tua Basri alias Bagong (32) -- tersangka utama sejumlah kasus kekerasan di Sulawesi Tengah yang ditangkap 1 Februari lalu -- meminta kepada pemerintah agar berlaku adil dalam proses penegakan hukum terhadap anaknya dan sejumlah tersangka kasus Poso lainnya yang kini disidik Mabes Polri. "Kalau pun terlibat melakukan (tindakan kekerasan), semua itu dikarenakan mereka merasa terpanggil membela umat Islam yang teraniaya di Poso," tutur Ny. Sutinem, ibu kandung Basri, Jumat. Ditemui di rumahnya, Jalan Pulau Tarakan Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, Sutinem mengatakan aksi-aksi kekerasan yang muncul di Poso dan Palu yang melibatkan pelaku orang Poso beberapa waktu lalu, tidak lepas dari ketidakseriusan kepolisian melakukan proses penegakan hukum terhadap para pelaku penyerangan pemukiman penduduk (Muslim) pada berbagai kawasan di wilayah Poso tahun 2000. "Banyak sekali manusia terbunuh ketika itu, bahkan mayat-mayatnya dihanyutkan di Sungai Poso dalam kondisi tragis. Ini belum terhitung yang ditanam begitu saja dalam kuburan massal di berbagai tempat, seperti yang sebagian sudah berhasil dibongkar polisi," kata dia. Sutinem mengemukakan masyarakat Poso, terutama keluarga korban, selama ini sangat berharap para pelaku kasus pembantaian massal di kompleks Pondok Pesantren Walisongo dan Dusun Buyung Katedo di Kecamatan Lage (pinggiran Selatan kota Poso) segera ditangkap. Tapi, harapan itu hingga kini belum menjadi kenyataan. "Sepanjang mereka itu tidak ditangkap dan diadili -- termasuk 16 nama yang pernah disebutkan terpidana mati Fabianus Tibo dkk -- masalah dendam lama di Poso akan sulit dihilangkan," kata ibu yang anak mantan transmigran di Poso tahun 1960-an tersebut, seraya menambahkan kalau dalam aksi penyerangan di kompleks Pondok Pensantren Walisongo tersebut puluhan keluarganya terbunuh. Pada kesempatan ini, Sutinem membantah keras tuduhan polisi soal keterlibatan anaknya (Basri) dalam serangkaian aksi kekerasan di Poso dan Palu. "Anak saya itu kerjanya selama ini menjual ayam dan membuka pangkalan minyak tanah di dekat Pasar Sentral Poso, dan sore harinya mengambil ternak yang dilepas di kebun," tuturnya. Namun, lanjut Sutinem, ketika namanya dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) polisi, dia berusaha sudah tidak karuan dan belakangan langsung menghilang karena khawatir ketika ditangkap petugas akan mendapatkan penyiksaan seperti yang pernah dialami sejumlah pemuda lain di Poso. "Saya menjadi cemas ketika nonton TV bahwa dia sudah ditangkap dan dibawa ke Jakarta (untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut)," katanya. Di Palu sebelumnya, Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Drs Anton Bachrul Alam, mengatakan kalau tersangka Basri yang ditangkap polisi dalam operasi penyergapan di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota, terlibat 17 aksi kekerasan di Poso dan Palu. Aksi kekerasan yang dituduhkan melibatkan Basri, antara lain penembakan wartawan Poso Pos I Wayan Sumaryasa tahun (2001), pembunuhan Kades Pinedapa di Poso Pesisir (2004), kasus mutilasi terhadap tiga siswi SMA Kristen Poso (2005), perampokan uang Pemkab Poso (2005), serta penembakan dua siswa SMA di Poso yakni Ivon dan Sitti (2006). Kasus lainnya, peledakan bom senter di Kawua Poso (2006), penembakan Biriptu Dedy Hendra (2006), penembakan rumah anggota Polri di Jln Pulau Jawa II dan Kompleks PDAM Poso (2006), serta penembakan Kapolres Poso (2006). "Keterlibatan Basri dan Ardin itu terungkap berdasarkan keterangan sejumlah orang yang masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang sudah tertangkap lebih dulu, serta pengakuan keduanya ketika menjalani pemeriksaan di Mapolda Sulteng," kata jenderal polisi bintang satu ini. (*)

Copyright © ANTARA 2007