Padang (ANTARA news) - Ketua Bagian Hukum Internasional Fak Hukum Unand, Dr Ferdi SH, MH, mengharapkan perundingan bilateral antara Malaysia dan Indonesia soal kepemilikan Ambalat lebih diharapkan melahirkan kebijakan `win-win solution` (saling menguntungkan). "Perundingan itu penting terkait belum adanya batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia secara jelas khusus untuk pulau itu hingga kini," kata Ferdi kepada ANTARA di Padang, Senin. Pasca-lepasnya Sipadan dan Ligitan, Malaysia justru mengklaim Ambalat miliknya dengan alasan Ambalat perpanjangan Pulau Sipadan-Ligitan. Padahal tanah di bawah laut Ambalat satu dengan tanah di Pulau Kalimantan. Artinya secara alamiah, menurut Ferdi, Ambalat sambungan Pulau Kalimantan dan secara hukum internasional, Indonesia diberi hak untuk memiliki landas kontinen di pulau itu. Ironisnya, kata Ferdi, sekarang Ambalat justru dituntut Malaysia menjadi miliknya. Terkait belum adanya batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia secara jelas khusus untuk pulau itu hingga kini, menurut Ferdi hal itu harus dirundingkan. Sedangkan terhadap Ambalat, pemerintah Indonesia perlu mempertahankannya, karena Ambalat wilayah RI dan itu sudah disahkan oleh hukum internasional atau dinyatakan dalam United Nation Convention on the Law of The Sea atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Dalam satu pasal konvensi hukum laut itu disebutkan satu wilayah negara dapat diperpanjang sampai dengan batas landas kontinen negara tersebut. Satu bukti yang bisa memperkuat Ambalat milik Indonesia, terkait RI selama ini sudah melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, bahkan Malaysia tidak pernah menuntutnya, namun menuntut Ambalat setelah Sipadan dan Ligitan menjadi miliknya. "Jika saja terbukti Ambalat itu perpanjangan Pulau Kalimantan berarti tidak satu negarapun di dunia ini boleh mengakui bahwa itu milik mereka," katanya. Ferdi sangat menyesalkan sikap Malaysia yang selalu melakukan pelanggaran wilayah dan menggunakan kapal perang -- kendati memang harus dibuktikan--, padahal Ambalat masih dirundingkan secara bilateral. Sikap lainnya yang disesalkan, Malasyia berani memberi konsesi pada perusahaan minyak Belanda dan Inggris menambang minyak di lepas pantai landas kontinen itu. "Seharusnya Malaysia membatalkan konsesi itu, sementara Indonesia sudah berpuluh tahun memberi konsesi kepada perusahaan minyak Amerika Serikat dan perusahaan dari negara Eropa lainnya," katanya. Mungkin karena merasa telah memiliki Sipadan-Ligitan, tambah Ferdi, lebih mendorong Malaysia berani melakukan pelanggaran hingga ke dalam 200 mil dari titik terluar pulau terluar. Karenanya, perundingan bilateral antar Malaysia dengan Indonesia, lebih diharapkan melahirkan kebijakan `win-win solution`. TNI hingga kini masih berjaga-jaga, dan Tentara Diraja Malaysia diminta agar tidak melakukan pelanggaran wilayah yang terkesan provokatif. Sementara itu, pertemuan baru-baru ini antara Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia untuk melanjutkan hubungan persaudaraan negara serumpun antara dua negara -- diharapkan lebih mendorong penyelesaian masalah tersebut dengan baik. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007