Jakarta (ANTARA News) - Komisi IV DPR RI, Senin, mendesak pemerintah segera merombak kebijakan ketahanan pangan nasional karena kebijakan yang dianut saat ini dinilai tak sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1996 mengenai Pangan. "Konsep yang ada juga sudah tidak sesuai dengan dinamika perkembangan nasional saat ini. Karena itu kebijakan pangan yang ada perlu dirombak. Arah perubahan terutama agar ada perimbangan tanggung jawab Pusat dan Daerah dalam sistem penanganan pangan, mulai dari pra panen sampai dengan konsumsi," kata Ketua Komisi IV DPR Yusuf Faishal, di Jakarta. Kebijakan pra panen misalnya, lanjut Yusuf, dalam Pasal 45 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ditegaskan pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. "Sementara dalam pasal 47 ditegaskan guna mewujudkan cadangan pangan nasional, Pemerintah akan berupaya mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat perdesaan, perkotaan, propinsi, dan nasional," katanya. Di samping itu, tambah Yusuf, Pemerintah juga dituntut mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat dan atau nasional. "Namun kenyataannya, pemerintah justru hanya mengambil jalan pintas dengan cara impor beras, dan ironisnya ini terjadi setiap tahun," kata Yusuf Faishal. Karena itu, kata politisi dari Fraksi Kebangkitan Bangsa itu, Komisi IV DPR RI yang membidangi Pertanian dan Pangan mendesak pemerintah segera merombak kebijakan pangan nasional agar sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Terkait kebijakan konsumsi, Yusuf Faishal mendesak pemerintah melakukan kebijakan program diversifikasi pangan, sehingga tingkat ketergantungan pangan Indonesia pada beras dapat dikurangi. Sementara itu menurut anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Keadilan Sejahtera Tamzil Linrung, penduduk Indonesia merupakan pengkonsumsi beras terbesar di dunia, yaitu mencapai 1390 kg/kapita/tahun, sementara di Malaysia hanya mencapai 70 kg/ kapita/tahun, sedang di Jepang hanya mencapai 60 kg/ kapita/tahun. Tamzil Linrung berpendapat dalam menerapkan kebijakan pangan nasional, ada dua pertanyaan penting yang harus dipertimbangkan pemerintah, pertama, tentang upaya peningkatan produktivitas pangan, atau kedua, bangsa Indonesia akan memprioritaskan kebutuhan pangan rakyat. "Data statistik kita surplus, namun pemerintah berpendapat sebaiknnya sehingga mengambil kebijakan impor beras. Nah, yang patut kita pertanyakan kemudian apakah data dari BPS ini yang harus dikoreksi atau kebijakan impor beras untuk memenuhi cadangan pangan yang ada di pemerintah yang harus dikoreksi ?" kata Tamzil. Kebijakan lain yang dianggap penting untuk segera dilakukan adalah kebijakan pra panen antara lain dengan mengurangi potensi hilangnya hasil panen. "Potensi hilangnya beras pascapanen di Indonesia masih tinggi, berkisar 20 %. Bisa dibayangkan jika produksi gabah kita sebesar 53 juta ton/tahun, berarti kehilangan itu pascapanen kita mencapai 10,6 juta ton/tahun yang artinya ekuivalen dengan 7 juta ton beras /tahun," kata Tamzil.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007