Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan petani jagung di Indonesia harus sigap menyikapi trend peningkatan permintaan jagung di dunia, dengan membangun secara ekspansif perkebunan jagung di dalam negeri. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI) Anton J Supit, di Jakarta, Rabu, mengatakan saat ini permintaan jagung di dunia terus meningkat seiring dengan trend meningkatnya produksi bahan bakar nabati, seperti bioetanol, dan naiknya konsumsi pakan ternak berbasis jagung. "Kita harus segera menangkap peluang ini dengan membangun perkebunan jagung secara besar-besaran," ujar Anton, yang juga Ketua Federasi ASEAN Poultry Producers (FAPP) yang baru-baru ini melakukan pertemuan di Thailand. Ia mengatakan peluang Indonesia untuk membangun perkebunan jagung lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya, sehingga pada pertemuan FAPP di Thailand belum lama ini, sejumlah produsen ternak berharap Indonesia menjadi basis produksi jagung, terutama di ASEAN untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pakan ternak. Menurut dia, akibat konsumsi jagung yang meningkat untuk pengembangan bioetanol, terutama di Amerika Serikat (AS) yang juga produsen jagung dunia, harga jagung dunia melonjak mencapai 200 dolar AS per metrik ton atau naik sekitar 50 persen. Dikatakannya peluang peningkatan permintaan jagung dunia harus bisa diraih Indonesia. "Pengembangan perkebunan jagung tidak hanya mendorong Indonesia beralih dari negara importir menjadi eksportir jagung, tapi juga akan sangat membantu peningkatan kesejahteraan petani," katanya. Apalagi, kata dia, kecenderungan permintaan jagung yang meningkat juga akan diikuti oleh naiknya harga jagung di pasar dunia. Selama ini perhatian terhadap komoditi ini sangat minim yang terlihat dari pertumbuhan produksi yang stagnan. Padahal kemauan politik pemerintah sudah ada, namun belum diimbangi pelaksanaan kebijakan yang tepat, katanya. "Beberapa waktu lalu, pemerintah berjanji menganggarkan dana sekitar Rp3,0triliun untuk pengembangan jagung, tapi sampai kini realisasinya sangat minim. Akibatnya, Indonesia kehilangan peluang untuk memanfaatkan kenaikan harga di pasar dunia. Bahkan, kini kita ikut terpukul kenaikan harga jagung karena sebagian kebutuhan masih terpaksa impor," ujarnya. Tahun lalu, produksi jagung nasional diperkirakan hanya mencapai sekitar 11,3 juta ton atau lebih rendah dari target sebesar 12,4 juta ton. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia terpaksa melakukan impor sekitar 1,4 juta ton. Peluang Indonesia untuk menjadi eksportir jagung sangat terbuka. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian dari ketersediaan lahan sekitar 27 juta ha, baru sekitar 3,4 juta hektar yang dimanfaatkan. Anton mengatakan untuk bisa memanfaatkan peluang pasar jagung di dunia yang besar, pemerintah harus ciptakan iklim yang kondusif untuk membangun sistem agrobisnis jagung yang terintegrasi antara petani, swasta dan industri pakan ternak sebagai konsumen terbesar. Lokakarya Mengenai hasil pertemuan industri perunggasan di Thailand pada 6-7 Maret 2007, Anton mengatakan, anggota FAPP sepakat untuk melakukan lokakarya mengenai penanganan virus Flu Burung (AI) dan mengatasi masalah pasokan jagung untuk pakan ternak. Anton juga mengemukakan, selain menghadiri pertemuan FAPP, delegasi Indonesia yang diwakili Ketua Umum Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) Don Utoyo juga diundang sebagai peninjau dalam pertemuan Badan Perunggasan Dunia atau International Poultry Council (IPC), terutama untuk menjelaskan penanganan AI. Dalam paparannya Don menegaskan bahwa Indonesia sudah berusaha melakukan pengendalian AI secara maksimal sehingga produk perunggasannya aman dan sehat. "Jika masih terjadi suspect flu burung, itu lebih banyak disebabkan belum tersosialisasinya dengan baik prinsip hidup sehat dan bersih di tengah masyarakat," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007