Jakarta (ANTARA News) - Anggota Dewan Penasihat Forum Akademisi Indonesia (FAI) Farouk Abdullah Alwyni menilai pelarangan buku-buku komunis belum menyentuh persoalan utama, yaitu penanganan kesenjangan sosial.

"Kekhawatiran terhadap komunisme di negara kita ini harus menjadi bahan koreksi bagi kita semua bahwa minimnya kesejahteraan dapat memprovokasi orang," kata Farouk saat mengunjungi Kantor Berita Antara, Jakarta, Rabu.

Menurut dia, pelarangan buku komunis di Indonesia bukan langkah yang salah menilik terdapat pengalaman buruk masyarakat pada masa lalu terhadap paham aliran kiri tersebut. Akan tetapi, melupakan pembangunan kesejahteraan masyarakat akan membuat mudah untuk dimasuki berbagai paham yang tidak sealiran dengan falsafah bangsa.

Ia mencontohkan pemerintah Jerman melarang buku-buku berbau Nazi karena memiliki pengalaman buruk bersama Adolf Hitler. Akan tetapi, di negara selain Jerman, buku Nazi seperti "Mein Kampf" diperjualbelikan secara bebas.

Hal tersebut, hampir sama terjadi di Indonesia terkait dengan pelarangan buku komunis yang cenderung keras. Tingkat resistensi di Indonesia terhadap materi komunisme, termasuk buku, terbilang tinggi atau berbeda dengan negara-negara lain.

Ketua Umum FAI Eni Heni Hermaliani mengatakan bahwa perlarangan buku komunis di Indonesia merupakan langkah antisipasi untuk mencegah tumbuhnya komunisme di Indonesia.

"Ini bahaya laten, bahaya bagi negara, untuk pertahanan dan keamanannya," kata dia.

Sementara itu, Ketua I FAI Syahruddin Sukeni mengatakan bahwa buku komunis bisa untuk kajian akademik. Singkat kata, kalau literatur itu untuk kajian ilmiah, tidak bermasalah. Akan tetapi, jika untuk propaganda, Syahruddin menolak kehadiran buku tersebut.

"Buku bisa menjadi karya akademis. Akan tetapi, di satu sisi, pelarangan buku ini harus disikapi dengan bijaksana agar tidak masuk ke ranah konflik," katanya.

(A061/D007)

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016