Sidoarjo (ANTARA News) - Warga korban semburan lumpur panas Lapindo, terutama mereka yang rumah dan tanahnya ditenggelamkan lumpur pasca-ledakan pipa gas Pertamina, Rabu, menggelar berbagai aksi, mulai cap jempol darah dan mengenakan pita hitam sambil membagikan selebaran kepada para pengguna jalan. Aksi korban lumpur Lapindo tersebut sebagai simbolisasi "kematian hati nurani" pemerintah dan Lapindo yang mereka anggap sudah tak memperdulikan lagi korban semburan lumpur yang kini menderita tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong (PBP) maupun tersebar di rumah kontrakan berbagai daerah. Para korban lumpur yang sudah menderita atas tragedi semburan lumpur yang sudah berlangsung selama sembilan bulan ini melakukan berbagai aksi "nekad" itu sebagai upaya memperjuangkan ganti rugi tunai "cash and carry". Pasalnya, pemerintah dan Lapindo masih bersikukuh warga korban lumpur pasca-ledakan pipa gas milik Pertamina direlokasi plus, yaitu dibangunkan rumah di sekitar Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, dibebaskan cicilan pembayaran rumah dan tambahan uang Rp15 juta per-KK. Rencananya, cap jempol darah terkumpul akan dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. "Kita akan berjuang menuntut ganti rugi `cash and carry` sampai titik darah penghabisan. `Cash and carry` merupakan harga mati," tegas Agustinus Sixon, koordinator aksi cap jempol darah warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) I. Aksi warga Renokenongo, yang juga korban lumpur panas Lapindo pasca-ledakan pipa gas Pertamina, sambil mengenakan pita hitam dan membagi selebaran menuntut kepastian dan bukan janji-janji. Mengetuk nurani pemerintah dan Lapindo, terutama Wapres Jusuf Kalla, yang takkala berkunjung ke korban lumpur berjanji bahwa pemerintah dan Lapindo bertanggunjawab. "Saat Wapres ke sini, beliau mengatakan bahwa keluarga Bakrie (pemilik Lapindo Brantas Inc) adalah keluarga baik-baik dan Lapindo pasti bertanggungjawab. Kami butuh kepastian dan bukan janji-janji. Wapres buktikan janjimu," ucap Sumarto, peserta aksi yang warga Renokenongo. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007