Ulan Bator, Mongolia (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay, sangat menegaskan penghormatannya terhadap putusan Pengadilan Permanen Arbitrase tentang Laut China Selatan dan menyerukan semua pihak menahan diri, kata Menteri Luar Negeri Perfecto Yasay, Jumat.

Dia katakan itu pada KTT Asia Eropa (ASEM) 2016, di Ulan Bator, Mongolia. China, pihak yang dikalahkan Pengadilan Permanen Arbitrase, juga hadir dalam KTT ASEM 2016 itu. China juga sangat keras berusaha agar issue Laut China Selatan tidak masuk dalam agenda resmi KTT ASEM 2016 itu. 

Sejak 2013 Filipina memasukkan 15 gugatan atas klaim sepihak China tentang Laut China Selatan, ke Pengadilan Permanen Arbitrase. China sejak awal menolak mentah-mentah kewenangan institusi PBB itu, apalagi produk dan ketetapan atau putusan hasil rangkaian sidangnya. 

Dua hari lalu, kapal nelayan Filipina mengail ikan di perairan Kepulauan Spratly yang disengketakan mereka. Walau Pengadilan Permanen Arbitrase PBB mengumumkan telah menolak semua klaim China, namun kapal nelayan Filipina itu diusir kapal Penjaga Pantai China secara langsung. 

Filipina bertekad tercipta resolusi perdamaian dan akan terus terlibat dengan pihak terkait untuk mengurangi ketegangan kawasan, kata Yasay, dalam pertemuan puncak itu. Dari semua pihak yang langsung bersengketa ataupun tidak bersengketa, cuma Taiwan yang mendukung sikap China pasca pengumuman ketetapan Pengadilan Permanen Arbitrase PBB itu. 

Sebelumnya, pemerintah Jepang mendorong agar semua pihak, terutama China dan Filipina, untuk mematuhi hasil putusan Pengadilan Permanen Arbitrase PBB, di Den Haag, terkait sengketa Laut China Selatan. 

Jepang sangat mengharapkan para pihak yang terlibat dalam sengketa dapat mematuhi dan bertindak sesuai putusan Pengadilan Permanen Arbitrase PBB antara Filipina dan China terkait wilayah di laut itu, kata Menteri Luar Negeri Jepang, Fumio Kishida.

Menurut Kishida, pemerintah Jepang secara tetap menganjurkan pentingnya aturan hukum dan penggunaan cara-cara damai, bukan penggunaan kekuatan atau paksaan, dalam mencari penyelesaian sengketa bahari di Laut China Selatan.

Untuk itu, kata Kishida, Pemerintah Jepang menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hasil putusan pengadilan arbitrase antara Filipina dan China dibawah UNCLOS 1982 di mana Indonesia memainkan peran cukup sentral, yang pada akhirnya diharapkan akan mengarah pada penyelesaian sengketa di Laut China Selatan secara damai.

Pada Selasa, 12 Juli 2016, Pengadilan Permanen Arbitrase PBB, di Den Haag, mengeluarkan putusan akhir, yaitu telah memutuskan menolak klaim China untuk hak-hak di wilayah Laut China Selatan, dan mendukung kasus yang dibawa oleh Filipina.

Pengadilan Permanen Arbitrase PBB itu mengatakan, tidak ada bukti China telah secara historis mempunyai kontrol atau kuasa eksklusif atas perairan atau sumber daya di Laut Cina Selatan.

Terkait hasil Pengadilan Permanen Arbitrase PBB mengenai Laut Cina Selatan itu, Jepang memandang semua pihak yang terlibat wajib mematuhi setiap putusan yang telah dikeluarkan.

Karena putusan dari tribunal internasional itu sudah akhir dan mengikat secara hukum semua pihak yang bersengketa di bawah ketentuan UNCLOS 1982, para pihak untuk kasus itu diwajibkan untuk mematuhi putusan tersebut, kata Kishida dalam keterangan persnya.

China dan Filipina merupakan juga negara pihak penandatangan UNCLOS 1982.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016