Semarang (ANTARA News) - Pada masa Orde Baru (Orba), bahasa dimanfaatkan sebagai alat untuk membangun kekuasaan sehingga apa pun yang dilahirkan berkaitan dengan kebahasaan harus mendapat persetujuan dari penguasa saat itu. "Memang ada benarnya kalau dikatakan pada era Orba Pusat Bahasa sebagai alat untuk membangun kekuasaan melalui bahasa sehingga apa pun yang dilahirkan berkaitan dengan kebahasaan harus mendapat persetujuan dari penguasa," kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Jateng, Drs H Widodo pada seminar "Bahasa Hukum di Media Massa" di LKBN ANTARA Biro Semarang, Kamis. Ia mengatakan hal tersebut menanggapi uraian dari guru besar Fakultas Sastra Undip Semarang, Prof Dr Sudaryono, SU bahwa dalam masa Orba pemakaian bahasa Indonesia selalu diindoktrinasi sehingga kebebasan berbahasa terkesan tidak ada dan orang beranggapan berbahasa itu harus baik dan benar seperti Pusat Bahasa. Lebih lanjut Widodo mengatakan, istilah bahasa baku, baik, dan benar itu identik dengan Orba, tetapi sekarang sudah memasuki era reformasi maka visi dan misi Pusat Bahasa termasuk Balai Bahasa yang ada di Indonesia. Menurut dia, istilah yang digunakan sekarang bukan bahasa baku tetapi bahasa yang standar, agak berbeda konsep baku dan standar karena dalam bahasa Inggris juga ada yang kontemporer dan standar. "Bahasa Indonesia pun nanti juga akan mengenal bahasa standar, bahasa gaul, dan lainnya," katanya. Dalam struktur, katanya, Pusat Bahasa memang lembaga pemerintah yang diberi tugas untuk mengelola tentang kebahasaan di Indonesia, namun unsur-unsur yang ada di Pusat Bahasa bukan semua ahli bahasa, justru di dalamnya terdapat para cendekiawan, jurnalis, dan berbagai unsur lain yang ikut menciptakan bagaimana bahasa Indonesia ke depan. "Sering kita ikuti berbagai kegiatan Pusat Bahasa yang melibatkan masyarakat oleh karena itu keputusan yang dilahirkan Pusat Bahasa bukan atas nama ahli bahasa tetapi masyarakat pada umumnya, sehingga bukan ahli bahasa yang menentukan benar dan tidaknya sebuah bahasa tetapi menurut masyarakat, termasuk wartawan, selebriti, ahli penyiaran karena ini semua para pemilik bahasa itu sendiri," katanya. Ia mengatakan, sebagai pemilik bahasa tentu akan menjaga bahasa tersebut, tidak mungkin pemilik itu akan membiarkan rusak. "Pasti akan menjaganya, dihormati, dan dihargai sebagai harta milik kita," katanya. Oleh karena itu, katanya, para wartawan mempunyai hak yang sama dengan pakar bahasa dan masyarakat sebagai pemilik bahasa Indonesia. Untuk itu dalam penggunaan pun pasti akan menjaga kebenaran dalam stuktur bahasa, pilihan bahasa dan menghormati kedudukan bahasa sebagai bahasa nasional serta menghargai pemakaian bahasa Indonesia lebih dari bahasa asing atau bahasa lainnya. "Kami memahami perbedaan yang disampaikan Prof. Sudaryono. Kita hargai perbedaan, karena perbedaan akan memperkaya pandangan kita, memperkaya yang kita miliki dan tidak arogan, artinya boleh saja berbeda pendapat asal saling menghargai perbedaan tersebut," katanya. Menyinggung tentang pemahaman bahasa hukum, dia mengatakan, bahasa hukum bisa multi tafsir. "Kalau kita cermati pasal demi pasal akan timbul beberapa tafsir, apakah tidak mungkin bahasa hukum itu dibuat, diformat satu tafsir, dengan cara memberi kecermatan dalam mengkonsep segala sesuatunya," katanya. Kepala Biro LKBN ANTARA Semarang, DD Kliwantoro mengatakan, bahasa hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi. "Apalagi sifat dari kaidah-kaidah hukum yang dikandung dalam kalimat itu mengikat semua orang sehingga rumusan kalimatnya pun haruslah dapat dimengerti dan dipahami semua orang, bukan hanya dipahami oleh akademisi dan praktisi hukum saja," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007