Jakarta (ANTARA News) - Koleksi film Indonesia yang telah dikumpulkan Sinematek Indonesia sejak 1975 terancam hancur jika tidak ada kepedulian pemerintah maupun masyarakat, karena dana yang didapatkan untuk merawat salah satu dokumen negara ini jauh di bawah kebutuhan. "Saat ini dana yang kami terima setiap bulan kurang dari Rp5 juta, idealnya dana yang dibutuhkan untuk membeli peralatan maupun membersihkan film yaitu sekitar Rp10 juta," kata Kepala Sinematek Indonesia, Adi Pranajaya, di Jakarta, Kamis. Sumber resmi pembiayaan koleksi film di Sinematek Indonesia, menurut Adi, berasal dari Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, sedangkan sumber dana dari instansi lainnya tak terlalu bisa diharapkan. Kegiatan perawatan film di Sinematek antara lain mendata negative ex Jepang, membuat dan menempel label Casio, menata penyimpanannya, membersihkan film dokumenter, mengontrol temperatur dan kelembaban suhu di gudang film, serta melayani dan menyiapkan film-film yang akan dipinjam oleh pihak luar. Perawatan film tersebut dapat dilakukan setiap minggu atau setiap bulan. Keterbatasan dana menyebabkan target perawatan film tidak tercapai, akibatnya film menjadi cepat rusak termakan waktu. Selain itu, film juga harus disimpan dalam ruangan khusus yang dapat menjaga temperatur udara antara 5-7 derajat Celcius dan kelembapan 45-60 persen RH. Sebagai sebuah lembaga sumber data, dokumentasi dan informasi perfilman Indonesia, Sinematek sudah selayaknya mendapatkan perhatian. Namun Adi mengatakan sudah saatnya Sinematek tidak bergantung pada satu sumber pendanaan. "Perlu dibangun upaya kebersamaan dengan pihak lain apakah itu sebuah lembaga swadaya masyarakat baik di dalam maupun luar negeri, baik swasta maupun pemerintah," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007