Jakarta (ANTARA News) - Berbeda dengan Hamid Djiman yang divonis bebas oleh Mahkamah Agung (MA), Ir Dawud Djatmiko yang juga menjadi terdakwa kasus korupsi pelepasan lahan proyek jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) TMII-Hankam, tetap dijatuhi hukuman oleh MA. Putusan yang menolak permohonan kasasi Dawud Djatmiko itu dikeluarkan secara bulat oleh majelis hakim kasasi yang diketuai oleh Artidjo Alkostar serta hakim agung Abbas Said dan Mansyur Kartayasa sebagai anggota pada 15 Maret 2007. Artidjo di Gedung MA, Jakarta, Jumat, mengatakan, permohonan kasasi Dawud ditolak oleh majelis hakim kasasi karena tidak terdapat kekeliruan dalam putusan pengadilan tingkat pertama yaitu PN Jakarta Timur yang menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dan diperkuat oleh PT DKI Jakarta. "Pertimbangannya karena judex facti (pengadilan tingkat bawah-red) tidak salah menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan hal-hal relevan yang secara yuridis benar," jelas Artidjo. Atas putusan kasasi itu, maka yang berlaku bagi Dawud adalah hukuman delapan tahun penjara seperti yang dijatuhkan PN Jakarta Timur pada 2006 dan diperkuat oleh PT DKI Jakarta. Putusan kasasi yang dijatuhkan kepada juru bayar PT Jasa Marga itu berbeda dengan putusan kasasi yang dijatuhkan kepada Hamid Djiman yang berperan sebagai perantara pembebasan lahan proyek jalan tol JORR tersebut. Majelis hakim kasasi yang diketuai Parman Soeparman pada November 2006 mengabulkan permohonan kasasi Hamid dengan pertimbangan judex facti salah dalam menerapkan hukum. Majelis hakim kasasi membebaskan Hamid dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan pada putusan perdata yang juga dikeluarkan oleh PN Jakarta Timur dan diperkuat oleh PT DKI Jakarta. Putusan perdata itu, menurut majelis hakim kasasi, telah mematahkan dan mengandaskan materi serta substansi dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan Hamid dinyatakan bukan tindak pidana korupsi karena telah hilang sifat melawan hukumnya serta tidak adanya kerugian yang dialami negara akibat putusan perdata itu. Majelis hakim kasasi menyatakan PN Jakarta Timur dan PT DKI Jakarta yang menjatuhkan vonis 14 tahun kepada Hamid dalam kasus korupsi JORR telah salah menerapkan hukum karena tidak mempertimbangkan putusan perdata yang juga dikeluarkan oleh PN Jakarta Timur itu. Putusan perdata yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Timur itu menyatakan TNI AD berhak atas tanah seluas 114 hektar dan tiga luasan tanah di kawasan Ceger, Bambu Apus, Jakarta Timur, yang dibebaskan pada 1958 dan kemudian terkena pembebasan proyek JORR. Putusan perdata itu juga menyatakan tanah yang terkena proyek JORR itu seluruhnya telah lunas dibayarkan oleh TNI AD sesuai perjanjian kerjasama antara TNI AD dan Hamid Djiman pada 9 Desember 2006. Artidjo mengatakan, putusan perdata itu tidak dijadikan pertimbangan dalam putusan kasasi yang tetap menghukum Dawud Djatmiko karena hakim tidak boleh mempertimbangkan hal lain yang tidak terdapat dalam dakwaan JPU. "Hakim tidak bisa mempertimbangkan putusan perdata itu, karena hakim tidak boleh pertimbangkan hal-hal lain di luar surat dakwaan," ujarnya. Artidjo menganggap putusan yang berbeda yang dijatuhkan kepada Hamid dan Dawud, yang menjadi terdakwa dalam kasus yang sama, sebagai hal yang biasa. "Itu lumrah saja, karena majelis hakimnya kan berbeda. Di sini, putusan bergantung pada hakim yang menangani," ujarnya. Pada 13 Februari 2006, Hamid Djiman yang berperan sebagai perantara pembebasan lahan proyek JORR dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh PN Jakarta Timur, sedangkan Dawud dijatuhi hukuman delapan tahun penjara. Pada 24 April 2006, putusan PN Jakarta Timur diperkuat oleh PT DKI Jakarta. Majelis hakim PN Jakarta Timur menyatakan terdakwa terbukti memperkaya diri, orang lain, serta korporasi dengan cara tidak menyetorkan uang senilai Rp74,23 miliar ke kas negara yang seharusnya merupakan dana ganti rugi proyek jalan tol seluas 49,9 ribu meter persegi di Kelurahan Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Selain hukuman penjara 14 tahun, Hamid dikenai hukuman denda Rp200 juta dan mengganti kerugian negara Rp67,53 miliar, sedangkan sisanya harus dibayar oleh Dawud. Namun, MA pada 16 November 2006 membebaskan Hamid dari segala dakwaan. Hamid telah menghirup udara bebas sejak 23 November 2006.(*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007