Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia harus segera mendesak Malaysia agar negara jiran itu duduk di meja perundingan untuk menyelesaikan masalah Blok Ambalat, karena diduga mereka ingin merebut daerah tersebut. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Dedy Djamaluddin Malik, mengatakan hal itu di Jakarta, Selasa, menanggapi bantahan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan Malaysia, Nadjib Razak tentang permintaan maaf negaranya, terkait aksi provokasi angkatan lautnya di perairan Blok Ambalat, ke dalam wilayah kedaulatan RI. Permintaan maaf itu sendiri telah sempat dikutip berbagai media nasional, berdasarkan pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. "Selama saling mengklaim merasa paling benar, maka koeksistensi damai di antara dua negara di Blok Ambalat sulit dicapai," tambah Dedy Djamaluddin Malik. Karena itu, dia berkali-kali mendesak agar perundingan harus segera dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebelumnya, rekannya di Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Pareira, menegaskan hanya ada satu cara tepat untuk mengusir Malaysia yang memang semakin berkelakuan ekspansif terhadap perairan Blok Ambalat milik NKRI, yakni memperkuat armada pertahanan laut, lalu menyuruh mereka keluar pergi dari sana. "Jika Malaysia membantah permintaan maaf itu, ini artinya kemungkinan Menteri Pertahanan (Menhan) yang membuat pernyataan tersebut telah melakukan kebohongan publik," tambah Andreas Pareira. Tetapi lebih dari itu, menurut anggota legislatif dari daerah pemilihan Provinsi Jawa Barat ini, Malaysia memang berniat untuk mencaplok Blok Ambalat. "Oleh karena itu, untuk apa kita berpikir bagi penyelesaian lewat jalur diplomasi. Lebih tepat, memperkuat armada pertahanan laut untuk mengusir Malaysia," tegasnya dengan nada meyakinkan. Persoalan Blok Ambalat, kata Andreas Pareira mengingatkan, akan semakin rawan, jika Indonesia terpengaruh oleh aneka provokasi, militer maupun politik, dari negara jiran yang sering juga berperilaku plin-plan tersebut. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007