Suatu petang di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) di Kalimantan Tengah, hujan turun dengan derasnya. Melintasi Sungai Sebangau dengan perahu klotok, didapati pemandangan kanan-kiri berupa julangan pohon yang lebih dari separuhnya terendam air sungai. Pada musim penghujan, ada dua cara untuk mencapai LAHG yang jaraknya sekitar 1,4 km dari tepi sungai berpenduduk, yaitu dengan menumpang perahu klotok dan menaiki semacam kereta mini berkapasitas maksimal enam penumpang. Sedangkan bila pada musim kemarau, LAHG bisa dicapai dengan berjalan kaki karena air sungai surut bahkan hingga kering sama sekali. Laboratorium hutan gambut diresmikan untuk kepentingan iptek dan lingkungan hidup oleh Menristek Prof. Zuhal pada 9 Juli 1999, sebagai hasil kerjasama BPPT, Universitas Palangka Raya, Pemda Kalimantan Tengah, dan Universitas Nottingham Inggris. Berada di lokasi seluas 25km x 25km di area antara Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau, LAHG adalah tempat bagi para peneliti yang ingin memperdalam ilmu mereka tentang ekosistem lahan gambut. Kebanyakan peneliti datang dari Inggris, Jepang, dan tentu saja Indonesia. Banyak mahasiswa dan peneliti Inggris yang mempelajari ekologi hutan gambut, sejalan dengan kerjasama yang terjalin dengan komunitas internasional. Grace dan Gibbons Grace adalah seorang perempuan asal Inggris dengan berawakan standar Eropa. Pembawaannya ramah, dan sudah bisa bicara Bahasa Indonesia walau sedikit saja kosa kata yang ia kuasai. Pengalaman pertama Grace tentang hutan gambut hadir ketika ia menjadi sukarelawan selama enam pekan. Seusai masa itu, Grace pun kembali ke Inggris. "Sekarang saya sudah sembilan bulan berada di sini untuk mengamati perilaku gibbons, yang jumlah kelompoknya bisa mencapai 15 buah," kata dia. Dari total 15 kelompok gibbons, Grace yang selalu ditemani oleh pemandu lokal itu mengikuti 5 kelompok tiap harinya. "Pagi-pagi saya bangun jam 4 pagi, berjalan masuk ke hutan dan pada pukul 04.30 saya sudah duduk menunggu dan mulai menerka-nerka kelompok gibbons mana yang akan saya dekati," ujar Grace menjelaskan. Menurut dia, pada pukul 5 pagi, gibbons akan bernyanyi secara serempak dan nyanyian mereka itulah yang menjadi hiburan ternikmat bagi Grace. Dengan menelurusi asal suara nyanyian pula, Grace mendapati lokasi para gibbons tersebut berada. "Melihat keseharian gibbons, tak jauh beda dengan menonton televisi di rumah, selalu ada opera sabun keluarga yang berbeda setiap harinya," ujar Grace. Sebagai contoh, lanjut dia, ada kalanya sang anak gibbons ditolak oleh sang induk sehingga tiap kali didudukkan di sisi sang ibu, anak itu menjerit menangis keras. "Si anak ingin tetap berada di pangkuan ibunya, sementara si ibu berpendapat sudah waktunya anak duduk sendiri tidak lagi dipangku," kata dia. Namun lucunya, kata dia, ketika si ibu berjalan mengambil pisang dan si anak turut merasakan enaknya pisang itu, maka ia mau berpisah sejenak dengan induknya demi pisang. "Tapi sekembalinya dari mengambil pisang, ia akan menjerit lagi bila si induk menolak memangkunya lagi," tambah Grace, "Selalu ada drama dan itu sangat menghiburku." Kristi Mengendus Orangutan Peneliti asal Inggris lainnya adalah Kristi, mahasiswa S2 di Universitas Manchester. Kristi punya sejarah perkenalan yang hampir sama dengan Grace, yaitu menjadi sukarelawan selama tujuh pekan pada tahun 2004, dan kini meneliti pengaruh jarak pohon di hutan gambut terhadap pola makan orangutan. Ilmu yang ditekuni Kristi adalah biologi konservasi, dan ia berencana untuk melakukan penelitian di LAHG selama enam bulan. "Selama dua pekan ini, saya telah mengamati perilaku posisi satu ekor orangutan betina dan dua orangutan jantan yang harus bergerak melintasi kanopi yang jaraknya semakin jauh akibat deforestasi," kata dia. Lebih lanjut Kristi menjelaskan tujuan penelitiannya adalah mencari tahu hubungan kondisi habitat, kemampuan bepergian, dan jarak antar kanopi yang membuat orangutan membutuhkan energi yang lebih banyak dibandingkan bila jarak antar pohon masih rapat. Ia mengakui kesulitan yang harus dihadapi ketika mengamati tingkah laku orangutan adalah mereka bergerak sendiri-sendiri, tidak berombongan seperti gibbons. "Orangutan jantan biasanya berjalan di tanah, kadang saya hanya bisa melihat bagian belakang tubuhnya. Jadi agak sulit mengidentifikasi siapa orangutan yang saya ikuti ini," kata perempuan yang murah senyum itu. Selama tinggal di barak sederhana LAHG, Kristi mendapati pengalaman yang berharga, terutama yang terkait dengan rasa rindu terhadap keluarga dan suami di Inggris. "Yaa saya bisa telpon dan kirim sms dengan ponsel, tapi tidak bisa Internet karena belum ada aksesnya. Rindu, ya pasti rindu tapi nanti suami saya akan menjenguk ke mari jadi saya senang," katanya. Pengalaman menarik mengikuti orangutan bagi Kristi adalah ketika ia harus menjumpai Indah, seekor orangutan betina yang terakhir dilihatnya baru anak-anak kini sudah dewasa dan bergabung dengan keluarga baru. Setiap kali membedakan orangutan ini namanya siapa, masih kata Kristi, sangatlah menyenangkan karena langsung bisa mencari tahu di album foto yang disimpan di barak LAHG. Calon Ph.D Mark Di sebuah barak tempat memasak dan makan itu datang kemudian Mark, satu lagi peneliti asal Inggris yang menghabiskan waktunya untuk meneliti ekosistem hutan gambut. Mark tengah melakukan penelitian untuk meraih gelar Ph.D-nya dari salah satu universitas bergengsi di negeri Pangeran Charles. Grace, Kristi, dan Mark adalah cermin dari tingkat kepedulian generasi muda terhadap kelangsungan hidup di belantara gambut Kalimantan Tengah. Mereka rata-rata berusia tak lebih dari 30-an, dan baru mulai berkenalan dengan lahan gambut sekitar tahun 2003 dan 2004. Mengapa justru kebanyakan orang-orang asing, di antaranya Inggris, yang berminat dan meneliti secara spesifik ekosistem hutan gambut? "Yaa ... karena masih sedikit orang yang meneliti hutan gambut, jadi saya yakin banyak yang bisa diteliti di sini," kata Grace. Sementara itu Mark punya beberapa jawaban alternatif, ketika Kristi terdiam kesulitan memberikan alasan. "Mungkin karena efek perubahan hutan gambut di Indonesia lebih terasa di Eropa, bukan di Indonesia, sehingga banyak peneliti Eropa yang datang ke mari untuk mencari tahu," kata Mark. Mungkin ini juga soal kesejahteraan, lanjut Mark, sehingga banyak orang di Indonesia masih sibuk dengan orientasi bagaimana membelikan barang-barang keperluan untuk anak mereka. "Atau mungkin karena kurikulum pendidikan nasional tidak memuat soal hutan gambut, sehingga siswa sekolah di Kalimantan tak punya informasi yang memadai tentang gambut," ujar Mark. "Buku pelajaran itu disusun oleh orang Jakarta, sehingga tidak banyak pengetahuan tentang lahan gambut dibahas di situ," kata pria yang sebagian wajahnya ditumbuhi jambang tipis. Meski demikian, Mark yakin bahwa peneliti gambut di Indonesia juga banyak yang hebat, tahu lebih banyak soal gambut dibandingkan peneliti Inggris. "Namun bedanya dengan Indonesia, di Inggris ada lebih banyak peneliti, dan mereka meneliti segala hal, meneliti apa saja," kata Mark. Ia juga yakin bila saja penduduk Indonesia dibukakan matanya sedikit tentang lahan gambut, maka akan lebih banyak orang yang akan meneliti tentang ekosistem tersebut. Ibarat rasa keingintahuan kita ketika melihat iring-iringan semut, kata Mark, semakin kita tahu bahwa iring-iringan itu membawa bahan makanan dan berkumpul di titik tertentu, "Maka akan semakin ingin tahu kita terhadap kehidupan dan perilaku semut." Grace, Kristi, dan Mark telah menemukan titik keingintahuan itu. Dan di Indonesialah surga bagi segala rasa keingintahuan. Indonesia adalah sumber inspirasi bagi ribuan peneliti negara lain untuk datang dan meneliti, dan Grace, Kristi, dan Mark adalah segelintir dari mereka.(*)

Oleh Oleh Ella Syafputri
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007