Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) mendorong agar Jaksa Agung mengajukan Putusan Kembali (PK) di atas PK terhadap putusan No 97/PK/Pid.Sus/2012 perkara PK Sudjiono Timan yang dibebaskan oleh majelis hakim Mahkamah Agung dari segala tuntutan.

Setelah dilakukan eksaminasi atau uji petik oleh para praktisi hukum dan kelompok akademisi di bawah kendali APPTHI, putusan itu terdapat enam kesesatan hukum sehingga Kejaksaan Agung seyogianya melakukan PK kembali setelah adanya novum (bukti baru), kata Ketua APPTHI Dr Laksanto Utomo usai melakukan jumpa pers, di Jakarta, Rabu.

APPTHI hanya terbatas sebagai sarana ilmiah untuk mengkritisi, manganalisis dan menilai secara objektif dan keilmuan atas putusan majelis hakim yang mendapatkan sorotan publik.

APPTHI hanya dapat merekomendasikan agar Kejaksaan Agung melakukan PK kembali agar penegakan hukum, khususnya di bidang korupsi lebih serius tidak terkesan main-main, katanya.

Laksanto yang didampingi Dr Yanti Fristikawati, Dekan Universitas Hukum Atmajaya dan Prof Dr Faisal Santiago, Direktur Pasca Sarjana Universitas Borobudur Jakarta, lebih rinci mengatakan berdasarkan laporan hasil eksaminasi Majelis Eksaminasi APPTHI atas Putusan Perkara No 97/PK/Pid.Sus/2012 ditemukan enam poin kesesatan seperti, pemaknaan hukum tentang legal standing pengajuan PK yang seharusnya tidak diterima oleh majelis PK, kesesatan hukum dalam pemaknaan kata ahli waris, diajukan oleh seorang buronan yang tidak mencerminkan rasa keadilan, dan kesesatan hukum dalam pemaknaan Pasal 2 ayat ((1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, kata Laksanto, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

"Oleh majelis hakim anggota PK pasal itu tidak dilihat sama sekali padahal dalam putusan kasasi yang bersangkutan diputus onslag van recht, terbukti bersalah dan dipidana selama 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti Rp369 miliar," kata Laksanto seraya menambahkan, sesat hukum dapat dijadikan sebagai salah satu novum baru oleh kejaksaan agung.

Laksanto menambahkan adanya majeis eksaminasi dalam APPTHI ini sudah pernah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan lembaga hukum lainnya, karenanya hasil kajiannya akan segera dikirim ke Sekretaris Negara, DPR dan Kejaksaan Agung.

"Kami akan segera mengirim hasil eksaminasi itu untuk masukan kepada lembaga terkait guna mengatur usia pensiunan hakim agung, termasuk rekruitmen hakim agung oleh DPR yang melakukan uji kepatutan," katanya.


Sebagai pembelajaran

Dekan Fakultas Atmajaya Yanti Fristikawagti menambahkan APPTHI saat ini terus mendapatkan kiriman putusan yang sudah mempunyai ketetapan hukum tetap (incraht), baik menyangkut putusan hukum lingkungan, perdata dan pidana.

Tujuan majelis eksaminasi dalam APPTHI adalah sebagai bahan kajian lebih lanjut dan pembelajaran dalam melihat hukum baik pada tataran teoritis maupun praktik.

"Para praktisi hukum, khususnya para hakim agung tentu akan lebih hati-hati dalam memutuskan suatu perkara, karena masyarakat terus akan mencermati lewat eksaminasi terhadap putusannya," kata Yanti.

Ia juga mengatakan Sudjiono Timan merupakan Direktur Utama (Dirut) PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia yang diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara Rp2 trilyun dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Majelis hakim memvonisnya 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta serta membayar uang pengganti Rp 369 miliar, pada 3 Desember 2004.

Sementara Faisal Santiago menambahkan kejaksaan seyogianya tidak ragu dalam mengajukan PK di atas PK karena sudah dibolehkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika sebagian masyarakat curiga dan tidak percaya terhadap putusan PK atas kasus Sudjiono Timan yang dibebaskan oleh hakim PK, Kejaksaan sebagai wakil dari negara dapat melakukan PK lagi.

Faisal menengarai lembaga PK dapat dijadikan "perjudian" terhadap buronan, dan pelaku korupsi untuk mencari celah bahwa setelah dia kalah di PN dan Kasasi masih ada pintu PK.

"Kedepannya para hakim agung seyogianya cermat dan berhati-hati agar para koruptor tidak menggunakan lembaga PK sebagai peruntungan. Itu sebanya, APPTHI terus mendorong agar para hakim agung sebagai benteng terakhir pencari keadilan, mempunyai komitmmen kuat dalam melakukan pemberantasan korupsi. Jika tidak, jangan berharap negeri ini tingkat peradabannya akan meningkat," kata Faisal.

(Y005/S027)

Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016