Nunukan, Kaltara,  (ANTARA News) - Pedagang di Pasar Mansalong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, memperkenalkan komoditas bawang hutan kepada Tim Pengawas Pembangunan Perbatasan DPR dalam pemantauan di pasar itu, Jumat pagi.

Ketua Tim Pengawas Pembangunan Perbatasan DPR Fahri Hamzah menelusuri wilayah Nunukan dan melihat aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan serta pembangunan infrastruktur jalan serta jembatan.

Fahri didampingi Anggota timwas, yaitu Arteria Dahlan (PDIP), Agung Widyantoro (Golkar), Hetifah Syaifudian (Golkar) dan Alvin Hakim Toha (PKB). Tim memantau dan mengamati aktivitas warga di Pasar Mansalong serta pusat perdagangan kebutuhan masyarakat.

Pasar Mansalong dibangun Pemerintah Indonesia dan mulai beroperasi awal 2016. Di pasar tradisional ini berbagai kebutuhan pokok masyarakat diperjualbelikan.

Namun banyak kebutuhan pokok dipasok dari wilayah Malaysia. Seperti minyak goreng, gula pasir dan beras. Hal itu karena harganya lebih murah dibanding mendatangkan dari wilayah sentra produksi pangan di Indonesia yang membutuhkan biaya transportasi lebih mahal.

Timwas tercengang melihat banyaknya pasokan bahan pokok dari Malaysia. Bahkan ayam dari Malaysia yang disebut warga setempat sebagai ayam merah pun mendominasi Pasar Mansalong.

Di saat pemantauan, ada pedagang yang memperkenalkan bawang hutan. Masyarakat di daerah itu menyebut bentudu. Ada juga yang menyebutnya tudu.

Bawang hutan atau bentudu berbentuk bulat seperti pinang yang sudah dikupas. Namun warnanya lebih kecoklatan.

Ini merupakan salah satu tanaman khas hutan di Kalimantan Utara. Tidak semua kawasan di Kaltara terdapat buah ini.

Tanaman ini tumbuh liar di hutan. Namun beberapa pedagang dan warga mengemukakan, tanaman ini hanya terdapat di Sebakung.

Pedang menjelaskan bahwa komoditas itu bukan buah, bukan pula sayuran. Bawang hutan merupakan tanaman berkhasiat.

Meski warnanya tidak menarik perhatian, kecoklatan dan ada serabutnya, namun isinya berkhasiat untuk mengobati darah tinggi dan kolesterol.

Dalamnya berwarna putih dan baunya seperti petai atau jengkol. Kalau digigit terasa renyah.

Warna setempat menjelaskan, buah itu berkhasiat dan bisa langsung dimakan mentah. Bisa juga dicampur ke sayuran tetapi tidak sampe terlalu matang.

Pedagang menjualnya Rp1.000 per biji. Beberapa anggota DPR membeli komoditas ini. 

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016