Jakarta (ANTARA) - Ketua Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr Gadis Arivia, mengatakan hingga saat ini masih ada kesenjangan antara pria dan wanita di Indonesia, terutama di bidang pendidikan. "Perempuan melek huruf hanya mencapai 87 persen, sedangkan laki-laki mencapai 94 persen," kata Gadis saat menjadi pembicara sarasehan terkait Hari Kartini bertajuk "Akar Budaya Kepemimpinan Perempuan Indonesia" di Jakarta, Sabtu. Dikatakannya, kesenjangan juga terjadi pada pendidikan sekolah dasar meski tidak terlalu tajam, yakni 93 persen untuk anak perempuan dan 95 persen untuk anak laki-laki. "Kesenjangan ini semakin lebar ketika sampai pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi," kata Gadis pada acara yang digelar Pengurus Besar Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU tersebut. Pada bagian lain Gadis menyebutkan, dibanding tahun 2005, pada tahun 2006 terjadi penurunan partisipasi kerja perempuan dibanding laki-laki. "Partisipasi perempuan bekerja di tahun 2005 telah mencapai 50.65 persen, sedangkan di tahun 2006 menurun menjadi 48.63 persen," katanya. Sementara itu, Direktur Eksekutif The Wahid Institut Ahmad Suaedy menyoroti gerakan pemberdayaan perempuan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Dikatakannya, pada awalnya, peran perempuan di NU sangat terbatas karena kuatnya budaya patriarki. Gerakan perempuan di kalangan kaum "Islam sarungan" baru dimulai ketika tampil sosok bernama Hindun yang memelopori pembentukan Muslimat NU. "Awalnya banyak kiai-kiai yang menolak gagasan Ibu Hindun itu," kata Suaedy saat menceritakan perjuangan putri pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy`ari itu. Meski akhirnya gagasan Hindun itu diterima sejumlah kiai, termasuk KH Hasyim Asy`ari, katanya, butuh waktu sekitar 15 tahun untuk bisa diterima lebih luas di kalangan NU, tepatnya ketika Muslimat NU dimasukkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Dikatakannya, perkembangan menggembirakan dalam pemberdayaan kaum perempuan di NU terjadi pada era 1940-an. Pada era tersebut, perempuan mulai mengajar para santri dan menjadi pimpinan di pesantren.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007