Jakarta (ANTARA News) - Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra dan Partai Demokrat di DPR sepakat menggulirkan hak angket terkait keputusan Menteri Dalam Negeri mengangkat kembali Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di Jakarta, Senin, mengatakan fraksi partainya di DPR menginisiasi pembentukan Panitia Khusus terkait masalah Ahok karena menduga keputusan Menteri Dalam Negeri melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

"Kebijakan ini tidak sejalan dengan yurisprudensi yang selama ini berlangsung terkait kasus-kasus pemberhentian gubernur misalnya Gubernur Banten, Gubernur Sumatera Utara, dan Gubernur Riau," ujarnya.

Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Gerindra Endro Hermono mengatakan  akan melakukan konsolidasi dengan fraksi lain mengenai penerapan hak angket tersebut dan berharap fraksi lain bergabung.

"Sekarang setelah ini akan kita tanda tangan bersama dan siang ini akan koordinasi dengan partai-partai yang searah dengan kita," kata Endro.

Fraksi PKS di DPR menyatakan akan ikut menggulirkan Hak Angket DPR terkait pengangkatan kembali Ahok menjadi gubernur meski berstatus terdakwa menurut Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini.

"Pengangkatan kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta padahal menyandang status terdakwa mengundang kontroversial di publik," kata Jazuli.

Menurut Jazuli, DPR perlu merespons kritik yang meluas di masyarakat mengenai pengangkatan kembali Ahok tersebut, dan cara yang paling tepat dan konstitusional untuk mempertanyakan itu adalah menggunakan hak angket, hak untuk melakukan penyelidikan.

"Hak Angket ini agar pemerintah bisa menjelaskan kepada masyarakat tentang landasan hukum pengangkatan kembali Ahok, sehingga jelas dan tidak ada kesimpangsiuran," ujarnya.

"Berbagai pihak mulai tokoh masyarakat hingga pakar hukum tata negara menilai pengangkatan kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta cacat yuridis karena bertentangan dengan Pasal 83 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah," katanya.

Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jazuli menjelaskan Pasal 83 ayat (2) undang-undang itu menyebutkan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

"Lalu Pasal 83 ayat (3) UU Pemda menyebutkan pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota," jelas dia.

Menurut dia, status Ahok saat ini adalah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan empat tahun.

Dia menegaskan Fraksi PKS bersama Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PAN resmi menggulirkan Hak Angket DPR agar pemerintah bisa menjelaskan kepada publik.

Jazuli mengatakan pemberhentian sementara sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti dalam kasus Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Utara, Gubernur Banten, Wakil Walikota Probolinggo, Bupati Ogan Ilir, Bupati Subang.

"Semuanya diberhentikan tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa. Tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan requisitor yang diajukan Jaksa di persidangan," ujarnya.


PAN dan Demokrat sepakat


Fraksi PAN di DPR sepakat ikut menggulirkan hak angket terkait keputusan Menteri Dalam Negeri yang mengangkat kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menurut Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto.

"Kami setuju gulirkan hak angket dan akan tanda tangani usulan tersebut," kata Yandri di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Senin.

Yandri mengatakan Fraksi PAN merasa perlu mempertanyakan keputusan tersebut kepada pemerintah mengapa Ahok tidak dinonaktifkan sementara padahal undang-undang tentang pemerintah daerah telah mengatur bahwa kepala daerah berstatus terdakwa harus diberhentikan sementara.

"Ini kan hak yang dimiliki anggota DPR jadi kalau ada anggota yang berinisiatif menggunakan hak angket maka kita hormati. Usulan ini akan kami sampaikan ke Pimpinan DPR karena sudah lebih dari dua fraksi dan 25 anggota," ujarnya.

"Sebagai pejabat publik yang merupakan panutan dan rujukan banyak orang, mengambil keputusan. Jadi kalau sudah terdakwa harus diberhentikan sesuai aturan UU Pemda," ujarnya.

Fraksi Partai Demokrat juga sepakat menerapkan hak angket dalam perkara pengangkatan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Ada 90 anggota DPR dari empat fraksi yang mengusulkan penerapan hak angket mengenai langkah Pemerintah mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Kami dari empat fraksi menilai diaktifkannya kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta, melanggar amanah undang-undang serta Peraturan KPU, sehingga kami mengusulkan hak angket," kata Anggota Fraksi Partai Demokrat Fandi Utomo.

Fandi Utomo bersama sejumlah anggota DPR RI dari empat fraksi menyerahkan usulan hak angket kepada pemimpin DPR yang diterima oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang didampingi Agus Hermanto dan Fahri Hamzah.

Fandi menyebut keputusan pemerintah mengaktifkan kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta pada Sabtu (11/2) sore jelas melanggar hukum.

"Ini jelas melanggar aturan UU dan Peraturan KPU, karena hari Sabtu masih hari kampanye dan Ahok menyandang status terdakwa," kata Fandi.

Pewarta: Imam Budilaksono dan Riza Harahap
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017