Canberra (ANTARA News) - Perombakan (reshuffle) terbatas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang praktis tidak menyentuh para menteri ekonomi akan menyulitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencapai target-target kesejahteraan pemerintahannya dalam 2,5 tahun sisa masa mandatnya, kata ekonom senior Australia. "Perubahan-perubahan yang tidak dibuatnya menunjukkan beliau (Presiden Yudhoyono) masih sangat ekstra hati-hati dalam pendekatannya untuk mereformasi sektor ekonomi," kata Ekonom terkemuka Universitas Nasional Australia (ANU), Chris Manning, PhD, menjawab ANTARA di Canberra, Selasa. Ketua Proyek Indonesia pada Divisi Ekonomi Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) ANU itu mengatakan ia khawatir Presiden Yudhoyono akan mendapatkan masalah dalam mencapai target-target kesejahteraan pemerintahannya dengan pendekatan semacam itu. Menurut Manning, "reshuffle" terbatas KIB yang diumumkan Presiden Yudhoyono di Jakarta, Senin siang (7/5), itu lebih terfokus pada portofolio politik. "Perubahan-perubahan utamanya tampak politik. Kesan saya, Presiden telah melakukan beberapa perubahan penting menteri-menteri di kabinetnya ... Namun pada saat yang sama, perubahan-perubahan yang tidak dia lakukan menunjukkan bahwa beliau masih sangat ekstra hati-hati dalam pendekatannya untuk mereformasi sektor ekonomi," katanya menegaskan. Sebelumnya ekonom Faisal Basri di Jakarta memperkirakan kemajuan ekonomi pasca reshuffle kabinet masih belum mampu memberikan perubahan sesuai yang diharapkan karena tiga bidang utama penggerak perekonomian masih dipegang oleh wajah-wajah lama. Tiga bidang yang dimaksud Faisal itu adalah perindustrian, pertanian serta Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menurut Faisal para menterinya seharusnya diganti Presiden. Menurut Faisal, dari empat sektor perekonomian yang banyak bersinggungan dengan pergerakan roda ekonomi bangsa ini, hanya Menteri BUMN saja yang diganti. "Jadi untuk ujung tombak perekonomian tidak ada perubahan. Padahal kita tahu semua bahwa kinerja mereka sangat buruk," katanya. Pesimisme bahwa perombakan kedua yang dilakukan Presiden Yudhoyono terhadap kabinetnya ini akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik juga disampaikan Kacung Marijan, MA, PhD, dosen Universitas Airlangga yang hingga Juni 2007 menjadi dosen tamu atau "visiting fellow" ANU. Ketidakmampuan Dalam pandangan Kacung Marijan, "reshuffle" itu bukanlah solusi selama akar permasalahan, yakni ketidakmampuan Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla menjadi pimpinan atau "dirijen" yang baik dan penyakit lama birokrasi yang sangat departemental, masih ada. "Birokrasi kita masih `departmental oriented` (berorientasi sektoral, red) dan SBY-JK belum mau menjadi dirijen yang mampu mengkoordinasikan kelompok-kelompok. Kalau hal-hal ini tidak diperhatikan, penggantian menteri-menteri itu juga belum akan maksimal untuk menyelesaikan masalah karena persoalan mendasarnya belum tuntas," katanya. Dalam logika demokrasi yang rasional, para pemilih dalam Pemilu 2009 akan sangat memerhatikan kinerja pemerintah ketika mereka akan menjatuhkan pilihannya nanti. "Jika kinerja pemerintah bagus, ya akan dipilih lagi. Namun jika tidak bagus, tidak lagi dipilih," katanya. Kegagalan pemerintah dalam memperbaiki kinerjanya yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat banyak akan meningkatkan jumlah orang yang tidak memilih dalam pemilu (golput) dan mengakibatkan rakyat frustrasi, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007