Darwin (ANTARA) - Pertemuan tingkat menteri energi kedelapan Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dimulai dengan rapat persiapan pertama, di Gedung Parlemen Negara Bagian Northern Territory (NT), Darwin, Minggu sore. Dalam pertemuan persiapan yang berlangsung sekitar tiga jam itu, hadir para pejabat tinggi dari 20 anggota APEC, termasuk delegasi indonesia, demikian laporan ANTARA dari Darwin Australia. Termasuk dalam delegasi Indonesia yang beranggotakan 13 orang yang berasal dari unsur Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Departemen Luar Negeri (Deplu) itu adalah Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi ESDM, J. Purwono, dan Sekretaris I Bidang Ekonomi KBRI Canberra, Ratu Silvy Gayatri. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro sendiri dijadwalkan tiba di Darwin, Senin (28/5), guna mengikuti pertemuan puncak para menteri energi kedelapan APEC yang berlangsung di Parliament House Darwin, Selasa (29/5). Pertemuan tingkat menteri energi 20 anggota forum yang dibentuk tahun 1989 itu akan menghasilkan Deklarasi Darwin tentang "Mencapai Keamanan Energi dan Pembangunan Berkelanjutan Melalui Efisiensi, Konservasi, dan Diversitas". Anggota delegasi RI, Marice Hutapea mengatakan dalam pertemuan persiapan (senior official meeting/SOM) yang berlangsung pada Minggu dan Senin (28/5), semua delegasi mematangkan kembali isi naskah Deklarasi Darwin itu, sebelum dibahas dan disepakati para menteri energi dalam pertemuan mereka pada 29 Mei. Di sela pertemuan tingkat menteri energi di Gedung Parlemen Darwin, diselenggarakan pula "Forum Bisnis Energi" APEC di SkyCity Darwin, resor berbintang lima yang berlokasi kompleks kasino di Gilruth Avenue. Forum yang diikuti unsur perusahaan milik negara dan pelaku bisnis energi dari 20 anggota ekonomi APEC itu dijadwalkan berlangsung Senin. Dari Indonesia, wakil PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pertamina turut hadir dalam forum bisnis tersebut. Isu perubahan iklim Isu energi terkait erat dengan agenda "perubahan iklim" yang diharapkan Perdana Menteri Australia, John Howard, menjadi agenda utama KTT APEC di Sydney pada 8-9 September mendatang. Dalam satu kesempatan, PM Howard mengemukakan para anggota ekonomi APEC membutuhkan 60 persen energi dunia dan merupakan pemakai terbesar keempat energi dunia. Pada 2030, diperkirakan kebutuhan akan energi itu meningkat dua kali lipat. Menurut dia, para pemimpin APEC dalam KTT-nya di Hanoi, Vietnam, tahun lalu telah meminta para menterinya untuk menyampaikan laporan tentang berbagai upaya APEC merespon peningkatan kebutuhan energi ini serta bagaimana menekan dampaknya terhadap lingkungan. "Kita sekarang perlu memberikan cara-cara praktis untuk merespons instruksi (Hanoi) itu," katanya. PM Howard mengatakan, di antara anggota APEC, sudah banyak yang terlibat dalam berbagai kerja sama pro-lingkungan, seperti teknologi batubara yang ramah lingkungan, energi terbarui, dan efisiensi energi yang kesemuanya berpengaruh positif dan praktis pada isu perubahan iklim. Satu di antara upaya-upaya praktis itu adalah Inisiatif Global tentang Hutan dan Iklim pemerintahnya yang telah diluncurkan pada 29 Maret lalu, katanya. Australia membuka peluang kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk merespon perubahan iklim tersebut, kata Howard. Terkait dengan dimasukkannya isu perubahan iklim ke dalam agenda KTT APEC, PM Howard dan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush telah pun menyepakati hal itu dalam pembicaraan telepon mereka belum lama ini. Bush sepenuhnya setuju untuk menempatkan isu "pembangunan yang bersih dan perubahan iklim" ini ke dalam agenda utama KTT yang akan dihadiri para pemimpin forum yang dibentuk tahun 1989 tersebut. Selain Indonesia, Australia dan AS, 18 anggota APEC lainnya adalah Brunei, Kanada, Chile, RRC, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini , Peru, Philipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007