Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis, mengatakan UUD 1945 yang ada saat ini masih memiliki sejumlah masalah, meski telah diubah beberapa kali. Ditemui setelah temu wicara MK dengan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi), Jimly mencontohkan masalah itu antara lain dapat dilihat dalam ketentuan tentang lingkungan peradilan dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal itu dinyatakan kekuasan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi. Menurut Jimly, dicantumkannya peradilan militer sebagai salah satu lingkungan peradilan tidak sesuai dengan asal usul peradilan militer itu sendiri. Peradilan militer adalah sistem peradilan yang akan diterapkan ababila negara dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya yang tercantum dalam pasal 12 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam bentuk Undang-undang adalah keadaan ketika negara harus menggunakan peradilan militer untuk menyelesaikan perkara hukum. "Bahkan sipil juga diadili di peradilan militer," katanya. Oleh karena itu, menurut Jimly, peradilan militer adalah peradilan yang dapat ditetapkan sebagai salah satu lingkungan peradilan jika hanya dalam keadaan bahaya. Dimasukkannya peradilan militer sebagai salah satu lingkungan peadilan dalam UUD 1945 merupakan legitimasi bahwa peradilan militer bisa hadir walaupun negara tidak dalam keadaan bahaya. "Saya mengatakan itu untuk mencontohkan bahwa UUD 1945 masih banyak masalah," katanya. Selain itu, Jimly juga mencontohkan penulisan kata "pemerintahan" dalam judul Bab VI UUD 1945 yang judul lengkapnya adalah "Pemerintahan Daerah". Sejak awal hingga masa diterbitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, katanya, judul Bab VI adalah "Pemerintah Daerah," tanpa akhiran "an" dalam kata "Pemerintah". "Setelah reformasi entah kenapa diketik "pemerintahan"," katanya. Perubahan pengetikan kata itu, menurut Jimly juga tidak didapati dalam risalah MPR sebagai lembaga yang bewenang untuk melakukan perubahan terhadap UUD. Menurut Jimly, penambahan atau pengurangan satu kata dalam peraturan perundang-undangan merupakan masalah yang serius. "Apalagi dua kata," ujarnya. Kata "pemerintahan" dalam Bab VI itu bisa menimbulkan pemikiran sejumlah pihak bahwa penentu kebijakan akan melanggengkan sistem sentralistik dengan membatasi ruang gerak pemerintah daerah. Jimly mengatakan terdapat perbedaan signifikan antara kata "pemerintah" dan "pemerintahan". Kata "pemerintah" lebih memiliki kesan yang lebih dekat dengan praktik otonomi daerah yang sekarang berlangsung, dan jauh dari pengertian sentralistik. Meski mempunyai sejumlah kekurangan, Jimly mengatakan perubahan terhadap UUD 1945 tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak selalu harus melalui MPR sebagai jalur formal. Menurut Jimly interpretasi yudisial juga dapat dikategorikan sebagai mekanisme perubahan UUD 1945. Interpretasi yudisial dapat dilakukan oleh lembaga peradilan yang berwenang untuk memberikan tafsir terhadap konstitusi. (*)

Copyright © ANTARA 2007