Surabaya (ANTARA News) - Budayawan Nirwan Dewanto membantah anggapan bahwa Indonesia mengalami kondisi inflasi penyair, sehingga puisi-puisi yang dihasilkan juga tidak memiliki makna apa-apa bagi kehidupan manusia. "Tidak benar kita ini inflasi penyair. Kenyataannya tidak banyak penyair di Indonesia ini. Di Surabaya saja sekarang tidak sampai 10 orang," katanya, saat memandu diskusi dan bedah buku "Lima Pusaran: Bunga Rampai Puisi FSS 2007", di Surabaya, Rabu. Pada rangkaian kegiatan Festival Seni Surabaya (FSS) 2007 itu, Nirwan mengemukakan bahwa di tahun 1970-an di Jatim banyak sekali penyair. Bahkan di setiap daerah yang menjadi kantong sastra, seperti Banyuwangi ada sekitar 15 orang. "Tidak ada inflasi penyair, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah penyanyi pop," kata sastrawan yang juga sarjana teknik geologi lulusan ITB 1987 itu. Mengenai tuduhan bahwa kemungkinan adanya batasan sebutan penyair untuk memberi "kekuasaan" kepada dirinya sebagai kritikus, Nirwan mengemukakan tuduhan itu terlalu membesar-besarkan peran dirinya sebagai editor budaya. Meskipun demikian, ia tidak menjawab secara tegas pertanyaan mengenai batasan seorang penyair atau tidak. Bahkan ia mengaku gembira ketika lima penyair yang karyanya dimuat dalam buku itu justru mengejek kepenyairan mereka. "Apalah artinya kata penyair itu? Penyair hanya sekedar kata keterangan. Kita saat ini tidak sedang berada di dalam suasana kepenyairan sebagaimana terjadi 20 tahun lalu yang mengenal istilah Presiden Penyair atau Si Burung Merak," katanya. Menurut dia, julukan-julukan seperti itu sebetulnya tidak ada kaitan dengan puisi. Julukan seperti itu hanya merupakan teknik "periklanan" yang boleh jadi diciptakan oleh penyair itu sendiri untuk mendapatkan "tepuk tangan". Pada kesempatan itu, ia mengemukakan bahwa dirinya menginginkan kematian sang penyair secara metafor. Ini agar keberadaan puisi tidak selalu dikaitkan dengan diri penyairnya. "Menurut saya, puisi yang baik itu akan memisahkan diri dari riwayat penyair. Puisi itu menjadi milik bahasa, milik tradisi lisan," kata lelaki yang mengaku besar di Banyuwangi dan Jember, Jatim, itu. Pada diskusi itu ditampilkan lima penyair yang dianggap Nirwanto mewakili lima pusaran kepenyairan, yakni S Yoga (Sumenep, Jatim), Zen Hae (Jakarta), Iswadi Pratama (Lampung), Gunawan Maryanto (Yogyakarta) dan Sindu Putra (Bali dan kini bermukim di NTB). Menjawab pertanyaan peserta diskusi, Iswadi mengemukakan bahwa dirinya bersama penyair yang lain tidak lain hanya sekedar sebagai perajin bahasa. Bahkan ia mengaku masih terus melakukan pencarian mengenai penggunaan bahasa yang benar. "Jadi kalau penyair itu dikaitkan dengan kaedah profetik atau transendental, misalnya penyair itu sebagai nabi, saya kira itu terlalu berlebihan," katanya, ketika ditanya apakah betul penyair itu adalah pembohong. (*)

Copyright © ANTARA 2007