Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat selama 2017 sebanyak 55 korban tindak pidana maupun keluarganya dikabulkan pengadilan menerima ganti rugi (restitusi) dari pelaku kejahatan.

"Di 2017 kita memfasilitasi restitusi bagi 55 orang korban tindak pidana," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai saat konferensi pers catatan monumental 2017 dan fokus kerja 2018 di Kantor LPSK Jakarta, Rabu.

Semendawi merinci dari 55 korban tindak pidana ini, sebanyak 54 orang merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan satu orang merupakan korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ketua LPSK ini juga mengungkapkan bahwa dari 55 korban tindak pidana ini jumlah restitusi yang yang difasilitasi LPSK mencapai Rp1.082.534.000.

"Jumlah tersebut masih akan bertambah dengan pembayaran restusi bagi satu orang terlindung yang rencananya hari ini baru diserahkan melalui Pengadilan Negeri Praya di Lombok Tengah sebesar Rp33 juta," kata Semendawai.

Dia juga mengungkapkan pihaknya telah mengirimkan tim untuk menghadiri dalam rangka penyerahan ganti rugi tersebut.

Ketua LPSK ini mengakui bahwa restitusi melalui putusan pengadilan pidana mendapatkan perkembangan yang cukup signifikan di 2017.

"Cukup banyak pemohon restitusi yang diajukan melalui sistem peradilan pidana dan dikabulkan. Tidak hanya pelaku dihukum pidana berupa penjara atau denda, tetapi pelaku juga diputuskan untuk membayar ganti rugi pada korban kejahatan," tuturnya.

Semandawai mengakui bahwa restitusi ini merupakan hal yang baru, di mana sebelumnya bahwa proses pidana itu hanya fokus bagaimana menghukum si pelaku dengan hukuman penjara atau denda, tetapi sekarang tidak hanya hukuman penjara dan denda, namun juga ganti rugi kepada korban.

Dia juga mengungkapkan bahwa tren naiknya restitusi ini tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi kasus perdagangan orang di luar negeri juga menunjukkan tren yang positif.

Semendawai mencontohkan kasus Erwiana, tenaga kerja Indonesia di Hong Kong korban penyiksaan oleh majikannya, yang juga telah dimenangkan pengadilan Hong Kong untuk membayar ganti rugi sekitar Rp1 miliar lebih.

"Kemarin korban datang ke LPSK menyampaikan terima kasih atas bantuan yang kita berikan selama ini bekerja sama teman-teman LSM Kabar Bumi yang memfasilitasi sehingga korban memperoleh ganti rugi lebih dari 1 miliar," ungkapnya.

Semendawai mengatakan putusan pengadilan di Hongkong telah memutuskan untuk membayar ganti rugi, meskipun uangnya sendiri belum diterima karena masih dalam tahap proses untuk dieksekusi.

Ketua LPSK mengatakan torehan keberhasilan dalam memfasilitasi restitusi yang dilakukan LPSK bagi para korban tindak pidana perlu mendapatkan perhatian.

"Ini penting untuk semakin memasyarakatkan bahwa korban tindak pidana sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian dari pelaku," ujarnya.

Semendawai mengungkapkan bahwa pemberian restitusi pada korban TPPO sudah diatur khusus dalam Undang-undang Pemberantasan TPPO.

Hal lain yang dimiliki korban, lanjut Semendawai, khusus tindak pidana terorisme, yaitu kompensasi atau ganti rugi yang diberikan kepada para korban dan keluarganya dari negara.

Pada 2017 LPSK memfasilitasi korban aksi terorisme di Samarinda, Kalimantan Timur, dimana tuntutan kompensasi yang diajukan korban dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Timur yang menyidangkan kasus tersebut.

Semendawai mengakui bahwa sebelumnya pihaknya juga memfasilitasi kompensasi bagi korban terorisme Jalan MH Thamrin Jakarta pusat, namun belum ada keseragaman pemahaman dengan penegak hukum, dalam hal ini jaksa, maka kompensasi itu tidak masuk dalam tuntutan.

"Putusan kasus terorisme Samarinda memperlihatkan sudah ada kesatuan cara pandang terhadap korban diantara penegak hukum," kata Semendawai.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018