Jakarta (ANTARA News) - Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Rochmadi Saptogiri divonis tujuh tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan karena terbukti menerima suap dan tindak pidana pencucian uang pasif.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Rochmadi Saptogiri tidak terbukti sah dan meyakinkan dalam penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan kumulatif kedua dan ketiga membebaskan kumlatif kedua dan ketiga. Menyatakan terdakwa Rochmadi Saptogiri terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dalam dakwaan kesatu pertama dan tindak pidana pencucian uang dalam dakwaan kumulatif ke-4," kata Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki Wibowo dalam sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Vonis yang dijatuhkan oleh hakim Ibnu Basuki Widodo, Siti Basariah, Sigit Hendra Binaji, Sofialdi dan Hastopo itu jauh lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Rochmadi divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp200 juta.

"Dipidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp300juta, bila tidak dibayar diganti kurungan empat bulan," tambah hakim Ibnu.

Dalam dakwaan pertama, Rochmadi dinilai terbukti menerima suap Rp240 juta dari Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito dengan perantaraan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Itjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo agar Kemendes PDTT mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.

Uang suap berasal dari para Sesditjen, Sesbadan, Sesitjen serta Karo Keuangan dan BMN. Sugito meminta adanya "atensi atau perhatian" dari seluruh Unit Kerja Eselon I (UKE 1) kepada Tim Pemeriksa BPK berupa pemberian uang dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp200 jut- Rp300 juta.

"Apa pun bentuk dan tujuan pemberian uang itu bertentangan dengan tugas dan kewajiban terdakwa untuk tidak melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme," tambah anggota majelis hakim Hastopo.

Uang diserahkan dalam dua tahap yaitu sebesar Rp200 juta pada 10 Mei 2017 oleh Jarot melalui Ali Sadli. Sedangkan pemberian selanjutnya pada 26 Mei 2017 sebesar Rp40 juta melalui Jarot yang juga menyampaikannya kepada Ali Sadli.

Sehingga dakwaan pertama Rochmadi terbukti yaitu dari pasal 12 ayat 1 huruf a jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 ke-1 KUHP.

Perbuatan lain Rochmadi yang terbukti adalah dakwaan keempat yaitu dari pasal 5 UU 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengenai menerima atau menguasai harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Harta tersebut adalah 1 unit mobil Honda Odyssey warna white orchid pearl tersebut adalah berasal dari perolehan yang tidak dapat dipertanggungajwabkan secara sah yaitu dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan Ali Sadli yang menyimpang dari profil penghasilan Ali sejak 2014 sampai 2017.

"SIM disamarkan dengan KTP Andika Ariyanto yang fotonya mirip dengan wajah terdakwa menambah praduga penyamaran identitas terdakwa. Tidak logis karena mobil sudah berhari-hari di rumah terdakwa dan pengembalian mobil bertepatan dengan OTT terdakwa, dan mobil bukan dikembalikan ke Ali Sadli tapi ke show room padahal mobil dari Ali Sadli yang diperoleh tidak secara sah," kata anggota majelis hakim Sigit Herman Binaji.

Mobil tersebut pun oleh majelis hakim diperintahkan dirampas oleh negara.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018