Sorong (ANTARA News) - Setahun berlalu sejak Kampung Manggroholo dan Sira, Sorong Selatan resmi menerima izin Hutan Desa.

Hutan Desa pertama di Tanah Papua itu telah mengubah hidup warga di kampung tersebut.

Kemerdekaan mengelola hutan secara mandiri dan harapan baru akan kehidupan yang lebih baik pelan-pelan telah mereka rajut selama setahun ini.

Jika dulu mobil yang ingin menuju Kampung Manggroholo dan Sira harus melewati tanah berbatu, yang tidak bisa dilewati saat jalan becek karena hujan, kini jalan aspal sudah membentang hingga ke ujung kampung.
 
Jalan terjal menuju Kampung Sira dan Manggroholo di Distrik Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat pada Maret 2017. (ANTARA News/Monalisa)


ANTARA News harus berjalan kaki sekitar 200 meter dan menanjak saat kunjungan pertama (Maret 2017), karena mobil yang membawa kami terjebak di jalanan berlumpur. Tetapi kini, mobil melaju mulus hingga ke Kampung Sira.
 
Kampung Sira, di Distrik Saifi, Sorong Selatan, Papua Barat pada Maret 2018 (ANTARA News/Monalisa)


Saat tiba, warga menyambut dengan wajah sumringah seraya melepas rindu. ANTARA News bersama organisasi lingkungan Greenpeace yang selama ini mendampingi warga Manggroholo dan Sira memperjuangkan hak hutan mereka, langsung diajak melihat proses produksi sagu di dalam hutan.

Sagu memang berlimpah di kawasan hutan tersebut. Tetapi, dulu sagu hanya mereka manfaatkan untuk membuat papeda, makanan pokok masyarakat Papua. Selebihnya, sagu mereka jual ke Teminambuan, ibu kota Kabupaten Sorong Selatan yang jaraknya sekitar 11 kilometer dari Kampung Manggroholo dan Sira.

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Alfred Kladit saat menemani kami ke hutan mengatakan satu pohon sagu, yang usianya 10 tahun, biasanya dimiliki oleh satu keluarga dan bisa menghasilkan sagu sebanyak 10 tuman (dibungkus dengan daun sagu) atau karung.
 
Pohon sagu yang sudah dibelah ditokok untuk diambil ela (ampas). (ANTARA News/Monalisa)


Pohon sagu yang sudah dibelah kemudian ditokok untuk diambil ela (ampas). Tahap berikutnya sagu diramas pakai air yang biasanya menjadi tugas mama-mama. Jadilah sagu basah.
 
Ampas sagu diramas pakai air untuk menjadi sagu basah. (ANTARA News/Monalisa)


Sagu dijual hanya sekitar Rp200 ribu untuk satu tuman atau karung yang isinya 15 kilogram hingga 20 kilogram.

"Tetapi sekarang kami sudah bisa produksi sagu menjadi kue, mie, keripik, dan cendol," kata Alfred seraya tersenyum.
 
Harapannya, kata Alfred, penghasilan mereka bertambah dan ekonomi menjadi lebih baik.

Alfred baru Desember tahun lalu mendapat pelatihan mengolah sagu menjadi beberapa alternatif makanan. Ia dan beberapa warga dikirim oleh Greenpeace ke Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang dikenal dengan produk sagunya hingga ke Malaysia dan Singapura.
 
Sagu basah dibawa dari hutan untuk diproduksi menjadi berbagai produk makanan. (ANTARA News/Monalisa)


Perjalanan masuk dan keluar hutan dengan jalan naik, turun, dan tidak rata sempat membuat kami kelelahan. Setelah istirahat sebentar, Alfred membawa kami ke dapur salah satu warga.

Di dapur sudah terdengar suara riuh para mama-mama yang tengah bersiap-siap untuk membuat mie dari sagu. Hal yang masih baru bagi mereka. Namun semangat mereka untuk belajar tidak pernah sirna.

Sagu yang masih basah yang dibawa dari hutan dikeringkan, lalu diolah sampai kemudian menjadi mie.
 
Olahan sagu yang akan diproses menjadi mie. (ANTARA News/Monalisa)


Meningkatkan penghasilan

Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Charles Tawaru mengatakan saat ini lembaganya masih melakukan pendampingan untuk warga Kampung Manggroholo dan Sira.

"Satu sampai dua tahun ke depan kami masih akan mendampingi mereka dan kami berharap mereka bisa mandiri untuk menjalankan program program secara berkala," kata Charles yang sudah mendampingi warga sejak tahun 2006.

Charles memberi contoh masyarakat Sungai Tohor yang menolak ekspansi perkebunan sawit di wilayah adat mereka.

"Tapi kemudian mereka produksi sagu yang menjadi nilai ekonomi dan secara kontinyu masih dikelola sampai sekarang karena pasarnya cukup menjanjikan di Malaysia dan Singapura. Kami berharap ketika kami bisa mencari pasar untuk masyarakat di kampung Manggroholo dan Sira, program sagu ini bisa secara kontinyu diproduksi oleh masyarakat," jelas Charles.

Produk-produk dari sagu yang dibuat masyarakat Kampung Manggroholo dan Sira baru saja dicoba dipasarkan di koperasi kampung "Koperasi Kenamandiri", di Kota Teminambuan, Kota Sorong, dan beberapa sampel di bawa ke Jakarta.

"Kami juga akan membimbing masyarakat mengolah buah Cimpedak bisa menjadi kue, karena satu potensi yang cukup banyak di wilayah Hutan Desa ini," ujar Charles.
 
Warga Kampung Sira Arkilaus Kladit menunjukkan Pohon Cimpedak di Hutan Desa Kampung Sira. (ANTARA News/Monalisa)


Pohon Cimpedak memang banyak tumbuh di hutan kampung tersebut. Seperti yang kami temukan saat kembali diajak masuk ke hutan yang berbatasan dengan hutan Kampung Manggroholo.

Sepanjang 2 kilometer menjelajahi dalam hutan, kami juga melihat banyak pohon damar, matoa, kayu besi (merbau), dan jenis lainnya.

Arkilaus Kladit, warga yang mendampingi kami ke hutan mengatakan masyarakat secara turun temurun hidup bergantung pada hutan. Tetapi sebelum menjadi Hutan Desa dan belum mendapat sosialisasi, mereka tidak teratur dalam mengambil hasil hutan.

"Tetapi sekarang dengan Hutan Desa sudah teratur. Contohnya, kita dulu tebang kayu sembarangan tapi sekarang tidak. Tebang kayu secara teratur. Kita sudah bisa bedakan lahan mana yang kita bisa berkebun, lahan mana yang kita bisa menokok, itu sudah bisa diatur," jelas Arkilaus yang juga pengurus LPHD Manggroholo-Sira itu.
Warga Kampung Sira Arkilaus Kladit dan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak berfoto dengan Pohon Merbau yang berusia puluhan tahun di Hutan Desa Kampung Sira. (ANTARA News/Monalisa)


Di tengah perjalanan, kami menemukan pohon kayu besi yang sudah ditebang dan sebagian sudah dipotong-potong. Menurut Arkilaus, pohon tersebut berusia lebih dari 50 tahun.
Pohon kayu besi (merbau) berusia lebih dari 50 tahun yang sudah ditebang dan sebagian sudah dipotong-potong. Berdasarkan SK Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Manggroholo dan Sira dari Menteri Kehutanan pada 18 September 2014, masyarakat mendapatkan izin mengambil 50 kubik pohon per tahun yang disesuaikan dengan kebutuhan. (ANTARA News/Monalisa)


"Pohon ini kira-kira lima meter kubik. Berdasarkan SK Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Manggroholo dan Sira (dari Menteri Kehutanan pada 18 September 2014), kami mendapatkan izin mengambil 50 kubik pohon per tahun, yang disesuaikan dengan kebutuhan, misal untuk membangun rumah," papar Arkilaus.
 
(ANTARA News/Monalisa)


Ia menambahkan, warga sudah tidak rutin berburu.

"Kalau dulu rutin satu minggu bisa dua kali kita berburu, sekarang paling satu bula sekali. Karena kita sudah ada fasilitas jalan ke pasar, akhirnya aktivitas yang lokal semakin dikurangi," katanya.


Menjadi inspirasi

Kampung Manggroholo dan Sira berada dalam hutan alam di lansekap wilayah adat Knasaimos.

Knasaimos, yang memiliki luas 81.446 hektare, adalah wilayah dengan status hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) di wilayah administrasi Distrik Seremuk dan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan. Terdapat 48 marga yang hidup di kawasan tersebut.

Dalam beberapa dekade terakhir, hutan-hutan di Papua telah ditebang untuk kayu dan mulai dibabat untuk perkebunan seperti kelapa sawit, kondisi serupa dengan apa yang telah terjadi di Sumatera dan Kalimantan.

Salah satu masyarakat adat Knasaimos berhasil menjadi contoh. Dengan dukungan LSM, periset, dan pemerintah, mereka merintis opsi-opsi baru di bidang perhutanan sosial di Papua.

Baca juga: Hutan Desa jadi harapan baru warga Manggroholo-Sira

"Masyarakat adat Knasaimos itu memang tidak mau sekali namanya perusahaan besar-besaran masuk, seperti perusahaan kelapa sawit atau illegal logging," kata Arkilaus.

"Di Knasaimos sudah menolak tiga kali perusahaan Sawit. Terakhir tahun 2016. Kita selalu menolak. Alasan kita, kalau pohonnya hilang, generasi ke depan bahkan sekarang ini nggak bisa dapat hidup yang baik. Karena kita masyarakat pada intinya hidup ketergantungan sangat besar pada hutan," jelasnya.
 
Seorang bocah berenang di Kali Biru, Sorong Selatan yang masuk dalam lansekap wilayah adat Knasaimos. (ANTARA News/Monalisa)


Masyarakat Kampung Manggroholo dan Sira telah merintis izin Hutan Desa di Tanah Papua. Warga Kampung Sira, berhak atas 1.850 hektar dari total 2.000 hektar luas keseluruhan hutan. Sedangkan 229 warga Manggroholo berhak mengelola 1.695 hektar dari total 2.964 hektar hutan di wilayah mereka.

Masyarakat di dua kampung tersebut adalah model bagi masyarakat dan perhutanan sosial di Papua. Mereka tidak hanya menunjukkan bahwa masyarakat adat dapat mengelola lahan untuk mencegah pembabatan hutan dan pengembangan perkebunan skala besar, tetapi juga menunjukkan bagaimana mendapat penghasilan yang berkelanjutan dari sumber daya hutan mereka.

"Banyak sekali perubahan yang terjadi sejak awal kita masuk di sini. Dulu memang masih sangat alami, belum ada jalan raya yang bisa dilalui kendaraan mobil atau motor, kita masih lewat sungai dan dari sungai kita berjalan kaki kurang lebih enam kilometer sampai kampung," ungkap Charles.

"Penerangan kampung juga perlahan perlahan mulai berubah, kita juga pakai tenaga surya. Sekitar empat tahun atau lima tahun lalu itu juga kita masukkan program air bersih di dua kampung ini," tambahnya.

Mendapatkan hak atas hutan miliknya sendiri adalah salah satu aspek, sementara komponen kunci lainnya dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui Hutan Desa adalah masyarakat yang bekerja sama dalam wadah koperasi, pengembangan rencana pengelolaan hutan yang dapat menjamin konservasi hutan, dan mendapatkan manfaat ekonomi dari sumber daya hutan.

Pada kesempatan yang berbeda, Kepala Bidang Pembinaan Hutan dan Perhutanan Sosial Papua Barat Herman Remetwa pun mengakui bahwa pemerintah provinsi Papua Barat baru mulai gencar memverifikasi peta wilayah hutan adat sejak tahun 2015.

"Ini baru mulai, yang sudah jalan teman-teman LSM, terus terang saja. Kami baru mulai tahun 2016, praktisnya tahun 2016-2017, diawali penetapan Hutan Desa di Sorong Selatan," ungkapnya.

Baca juga: Akhirnya Papua punya Hutan Desa

Masyarakat dari kampung lain pun tergerak melakukan hal yang sama, mendapatkan hak milik atas hutan mereka.

"Masyarakat perlu pendampingan. Secara turun menurun adat istiadat sudah hidup dengan alam lingkungannya, cuma bagaimana kita mau fasilitasi mendampingi mereka karena kita bicara menyangkut value added, bagaimana peningkatan nilai ekonomi, menaikkan produknya ke pasar. Sampai saat ini menjadi tugas berat kita," tambah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Prov Papua Barat, yang juga Guru besar Botani Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Papua Profesor Dr. Charlie Heatubun.
 
Perempuan di Kampung Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan sedang menganyam dan membuat piring dari dahan pohon kelapa. Foto diambil pada Maret 2017. (ANTARA News/Monalisa)


Pemerintah Jokowi dalam RPJMN 2015-2019 merencanakan sekitar 12,7 juta hektar kawasan hutan dapat diakses secara legal oleh masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial, termasuk Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Adat. Sedikitnya 370.000 hektar hutan diusulkan untk perhutanan sosial di Provinsi Papua Barat.
 
Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Charles Tawaru di Kampung Sira, Sorong Selatan. (ANTARA News/Monalisa)


Mitra LSM seperti Bentara dan Greenpeace telah memberikan pelatihan dan dukungan untuk pemetaan partisipatif, studi sumber daya hutan, pengembangan rencana pengelolaan hutan, pemasaran produk hutan, dan sebagainya di Kampung Manggroholo dan Sira.

"Semua potensi yang ada dalam daftar yang kita inventarisasi, tahap demi tahap kita coba. Dan kita berharap ketika masyarakat mandiri untuk mengelola itu, kita akan lepas kampung ini untuk bisa ekspansi lagi ke wilayah yang lain," ujar Charles.

Baca juga: Hutan Adat, keadilan untuk masyarakat Papua

VIDEO:

Pewarta: Monalisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018