Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan akhir 2008 ekspor semua bahan baku rotan harus dilarang, karena industri furnitur rotan dalam negeri sudah berkembang dan membutuhkan bahan baku tersebut. "Larangan itu harus sesegera mungkin diberlakukan," kata Fahmi dalam jumpa pers International Furniture and Craft Fair Indonesia 2008, di Jakarta, Kamis. Menurut dia, pihaknya telah membangun semacam pusat pelatihan produksi furnitur rotan di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan agar sentra pasokan rotan asalan dan setengah jadi itu bisa juga memproduksi furnitur rotan berkualitas. "Yang di Sulawesi Selatan sudah mulai berkembang, tinggal yang di Kalimantan Selatan yang belum," ujarnya. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah daerah (pemda) untuk ikut membangun sentra industri rotan daripada hanya menggantungkan pemasukan daerah dari ekpor bahan baku saja. "Mestinya daerah yang berkepentingan untuk membangun sentra industri furnitur rotan yang bisa untuk mengisi pasar lokal dan luar negeri. Mereka kan yang punya bahan bakunya, sekarang kita (pemerintah pusat)terpaksa yang turun tangan,"tambahnya. Jika sentra industri furnitur rotan di daerah penghasil rotan telah berkembang, maka tidak ada alasan lagi untuk memperbolehkan ekspor rotan. Sebanyak 85 persen bahan baku rotan dunia dihasilkan Indonesia, terutama dari Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Dengan asumsi potensi produksi rotan sebanyak 250ribu ton hingga 400 ribu ton per tahun. Sementara itu, sentra produksi furnitur berbahan rotan yang berkualitas hanya ada di Cirebon (Jawa Barat), Gresik (Jawa Timur), dan daerah lain di Jawa Tengah. "Adalah sangat tragis kalau 85 persen pasokan rotan dunia dari Indonesia, tetapi justru ekspor furniturnya kalah dibanding negara lain," tuturnya. Sementara itu, perwakilan Asosiasi Industri Permebelan dan Furnitur Indonesia (Asmindo) Gorontalo, Firdaus, meminta pemerintah berhati-hati dalam memutuskan pelarangan ekspor bahan baku rotan karena penyerapan dalam negeri masih rendah. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan, Diah Maulida mengatakan ekspor rotan asalan dan setengah jadi bisa saja dilarang, asalkan benar-benar diserap oleh industri dalam negeri. "Rotan Kalimantan yang dibolehkan ekspor itu, banyak sekali yang tidak bisa terserap. Jadi kalau mau melarang, kita harus yakin dulu, apakah ada industri dalam negeri yang menyerapnya atau ada investor yang masuk dan bekerjasama dengan para petani rotan," jelasnya. Sepanjang belum bisa terserap semua dan luar negeri masih meminta, pemerintah tetap memperbolehkan ekspor dengan aturan kuota. Namun pada prinsipnya, Depdag setuju dengan Menperin untuk mendorong ekspor produk bernilai tambah. "Tapi harus bertahap, kapan industri dalam negerinya mau berdiri, potensi kita berapa banyak,?" ujarnya. Sementara itu, realisasi selama Juni-Juli 2007 untuk ekspor rotan asalan jenis taman sega irit mencapai 15.399 ton, sedangkan untuk rotan setengah jadi jenis taman sega irit realisasinya 2.380 ton dan untuk rotan setengah jadi jenis non taman realisasinya mencapai 2.891 ton. Tahun lalu, ekspor rotan jenis asalan jenis taman sega irit kuota realisasinya lebih tinggi yaitu 22.530 ton. Untuk rotan setengah jadi jenis taman sega irit realisasi ekspornya mencapai 6.835 ton, sedangkan ekspor rotan setengah jadi jenis non taman pada periode Juli-Juni 2006 mencapai 1.025 ton. Kuota ekspor rotan yang ditetapkan Depdag adalah 25.000 ton untuk rotan asalan jenis taman sega irit, 16.000 ton untuk rotan setengah jadi jenis taman sega irit dan 36.000 ton untuk rotan setengah jadi jenis non taman sega irit. Penyerapan tenaga kerja Industri furnitur, menurut Fahmi, merupakan industri unggulan Indonesia yang mata rantai hulu dan hilirnya lengkap. "Kita bisa berkembang tanpa harus tergantung pada negara lain. Daya serap angkatan kerja di industri itu luar biasa," tambahnya. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan, Rachmat Gobel, mengatakan permasalahan dalam pengembangan industri furnitur berbasis rotan terkait pasokan bahan baku dan promosi ekpornya. Saat ini, pangsa pasar ekspor furnitur Indonesia baru mencapai sekitar 2,9 persen dan ekspornya masih tertinggal dari China dan negara lain. Potensi penyerapan tenaga kerja dalam ekspor furnitur rotan sangat besar. Rahmat memperkirakan untuk penambahan ekspor mebel rotan sebesar satu miliar dolar AS dibutuhkan 5 juta tenaga kerja dalam industri tersebut. Ketua Umum Asmindo, Ambar Tjahyono menargetkan ekspor mebel dan kerajinan selama 2007 akan meningkat sebesar 8-10 persen. "Angka itu (8 persen) adalah angka yang realistis," ujarnya. Ekspor produk furnitur rotan 2006 mencapai 172 ribu ton atau menurun 1,7 persen dibanding volume ekspor 2005 sebesar 175 ribu ton. Secara nilai, ekspor furnitur rotan Indonesia 2006 juga menurun dibanding 2005 yaitu dari 408juta dolar AS menjadi 398 juta dolar AS. (*)

Copyright © ANTARA 2007