Emerli, Irak (ANTARA News) - Truk sampah berwarna hijau "bertengger" dengan latar-belakang toko dan rumah yang terbuat dari bata-lumpur di pasar padat pengunjung, dan kemudian dalam sekejap semuanya berubah jadi debu, darah dan suara dentuman. Perang Irak baru saja meletus di salah satu daerah paling terpencil dan paling miskin di negeri itu, dan tak ada keadaan yang akan sama lagi. Bom truk Sabtu lalu di desa terpencil di Irak utara, Emerli, menewaskan sedikitnya 140 orang, melukai ratusan orang lagi, dan menyeret masyarakat minoritas yang damai ke dalam kancah perang saudara. Penghuni Emerli adalah orang Turkmen berfaham Syiah, kelompok minoritas di dalam kesatuan minoritas, dan mereka khawatir masyarakat Arab Sunni akan berkeliaran, karena mereka percaya kelompok itu menampung aktivis garis keras. Di antara reruntuhan, bencana tersebut sangat mengerikan, desa itu berubah jadi ajang pertempuran berhantu lain dalam perang yang merembet ke luar daerah pedalaman Irak yang terjaga. "Rumah saya dulu berada di sini," kata Abbas Abdullah, tukang kayu berusia 33 tahun, sambil menunjuk ke rumpukan batu di sebelah pohon kurma yang berlubang. "Saya tak mempunyai rumah, tak ada, dan kebanyakan tetangga saya meninggal." "Itu bukan bom mobil. Itu adalah bom nuklir, seperti apa yang dijatuhkan di Hiroshima," katanya. Beberapa hari telah berlalu sejak pemboman itu, tapi penduduk kota tersebut yang trauma masih berkeliaran di antara lautan puing kotor, rumah dan toko yang ambruk jadi kuburan dalam badai debu dan api. "Anak-anak ketakutan," kata Zeid Al-Abdin sambil menuntun putri dan putranya melewati puing-puing. "Mereka kira itu adalah topan, dan mereka terus bertanya kepada saya apakah akan ada lagi. Mereka juga sangat ketakutan sehingga mereka jarang tidur sejak ledakan tersebut. Di antara reruntuhan lain di jalan, seorang pria tua berjanggut putih dengan kain putih menutup kepalanya bersender ke tembok dan gemetar, airmata berlinang di kedua matanya --yang berwarna merah-- atas hilangnya empat putranya. Di kota kecil dengan 11.000 warga itu --yang diduga banyak orang berasal dari lapisan yang sama-- kerugian bukan dinilai dari hilangnya teman dan anggota keluarga, tapi dalam pembunuhan seluruh anggota masyarakat secara sengaja. "Ini bukan hanya bom, ini adalah penghancuran total. Jika sesuatu dengan skala seperti ini telah terjadi di New York atau London atau Kairo, korban jiwa pasti telah menjadi jutaan," kata Faisal Abbas, guru berusia 33 tahun. Dalam perbuatan kejam Baath, kebanyakan wilayah Turkmen yang meliputi Emerli dimasukkan ke dalam provinsi Sunni Arab, Salaheddin, sehingga rakyatnya tak menikmati kekayaan negara tersebut karena para pejabat Baath tak mengeluarkan dana bagi masyarakat minoritas. "Kota kecil ini sepenuhnya diabaikan oleh rejim terdahulu karena Turkmen," kata Abu Zeinab Al-Bayati (28), yang memimpin organisasi bantuan lokal. Beberapa dasawarsa hanya memberi Emerli listrik selama kurang dari dua jam sehari dan air hanya mengalir satu atau dua kali dalam satu pekan. Tak ada dokter di rumah sakit kecil setempat, dan hanya satu ambulan muncul di tempat ledakan. Kota kecil itu selama ini hidup dalam kedamaian. "Bahkan pada hari-hari rejim lama, kami adalah orang yang selalu damai. Kami tak pernah melanggar hukum dan tak pernah ada percekcokan antara kami," kata Abdullah. Awal tahun ini, ketika tentara AS dan Irak menyerbu Baghdad dan daerah sekitarnya, penduduk Emerli mengatakan petempur Al-Qaeda yang terusir merayat ke daerah terpencil di sekitar kota kecil mereka. "Sejak orang Amerika telah memasuki provinsi Diyala, pelaku teror telah datang dan mendirikan kamp di pegunungan Hamrin, daerah perbukitan rendah di sebelah utara, kata Walikota Zeid Khalaf Mohammed, Kepala Polisi baru di wilayah tersebut. Pada hari pemboman, hanya ada 13 personil polisi di kota kecil itu, dengan dua mobil dan beberapa senjata, dan tak ada gagasan bagaimana cara memerangi aksi perlawanan.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007