Maracaibo, Venezuela (ANTARA News) - Sukses pelatih Carlos Dunga membawa tim Brazil merebut Copa America membuktikan dirinya ternyata bukan sekadar bicara saja, tetapi menunjukkan hasil kerja nyata. Dunga sempat dipandang sebelah mata, bahkan dikritik habis-habisan oleh publik karena dia dinilai tidak memiliki pengalaman sebagai pelatih. Kurang dari setahun berselang, Dunga yang menjadi kapten tim Brazil dalam Piala Dunia 1994, justru mengantar Brazil merebut Copa America. Pemilihan atas dirinya ternyata tidaklah keliru. Brazil mengalahkan Argentina 3-0 dalam final yang diadapada pada Minggu (Senin dinihari WIB). Dunga tidak menurunkan kapten Gilberto Silva dan menggantikannya dengan Elano. Meski Elano dipasang sebagai gelandang, Dunga memilih Daniel Alves untuk mengisi lini belakng. Alves bahkan berperan dalam dua gol yang diperoleh timnya. Gol ketiga terjadi ketika Alves memanfaatann umpan dari Vagner Love. "Daniel Alves bermain sesuai dengan posisinya ketika bermain di klubnya. Ia memiliki kecepatan dan kekuatan, bahkan kemampuan untuk melepaskan tembakan dari luar kotak penalti," kata Dunga. Ia menimpali, "Saya pikir ia dapat mendobrak sisi kiri pertahanan Argentina yang memang memiliki masalah." Dunga memang telah mencoba untuk menjadi pelatih dalam lima kali laga berskala dunia. Hal itu bersesuaian dengan kemeja yang dia kenakan. Dia memilih kemeja yang berkilat - hasil rancangan putrinya yang tengah mengenyam pendidikan di sekolah mode - yang dipakai dalam berbegai pertandingan persahabatan tim Brazil. Langkah tim Brazil tidak secemerlang kemeja yang dipakai pelatih Dunga. Brazil dipaksa bermain imbang 0-0 ketika melawan Turki, bakan dikalahkan 0-2 oleh Meksiko. Sontak Dunga menuai kritik dari publik. Meski memperoleh kemenangan ketika melawan Chile dan Ekuador, Dunga menuai hujan kritik karena memainkan tiga gelandang bertahan yakni Gilberto Silva, Josue dan Mineiro. Dunga membayar kontan kritik yang dialamatkan kepada dirinya. Brazil memukul Chile 6-1 dalam kuarter-final. Ia juga menegaskan bahwa timnya tidaklah bermain dengan pola bertahan. Ini ditunjukkan saat Brazil bermain imbang 2-2 melawan Uruguay kemudian memenangi pertandingan lewat adu penalti. Kemudian Brazil mampu mengalahkan Argentina dengan 3-0. "Dalam setiap pertandingan, kami memperoleh peluang mencetak gol sebanyak enam sampai tujuh kali," katanya sesudah pertandingan final melawan Argentina itu. Gaya bermain yang ditunjukkan oleh tim Tango kerapkali jauh dari sepakbola indah yang telah terlanjur melekat dalam diri tim Brazil. Ketika tampil di Copa America, tim Brazil mampu memadukan kekuatan fisik dan efisiensi serangan yang menjadi andalan dari gaya sepakbola Jerman, demikian laporan Reuters. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007