Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan mengevaluasi besaran Pungutan Ekspor (PE) untuk produk hilir minyak sawit mentah (CPO) agar dapat mendorong perkembangan industri itu di dalam negeri. "Fokus perhatian evaluasi PE adalah besaran PE untuk semua industri turunan CPO. Idealnya industri hilir mendapat insentif atau memperoleh disinsentif yang lebih kecil," kata Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, dalam seminar "Mengupas Permasalahan CPO dari Berbagai Perspektif" di Jakarta, Rabu. Namun, saat ini pemerintah akan mempertahankan kebijakan yang ada untuk mengurangi spekulasi. Selama ini, pemerintah telah menetapkan PE CPO sebesar 1,5 persen dan produk turunan CPO PE-nya 0,3 persen. Namun, gejolak harga CPO dunia yang mempengaruhi pasar dalam negeri membuat pemerintah membuat kebijakan PE tambahan yang membuat PE CPO dan turunannya menjadi 6,5 persen. Kebijakan pengenaan PE tambahan itu diperkirakan akan menekan harga CPO dan minyak goreng di dalam negeri setelah 3-6 bulan. Pemerintah akan melakukan evaluasi pengenaan PE tambahan seiring penurunan harga minyak goreng dalam negeri hingga menjadi sekitar Rp7.000-Rp7.500 per kg. Hingga kini, harga rata-rata nasional minyak goreng masih bertahan di sekitar Rp8.500 per kg. "Saat ini, kita biarkan pengusaha berjalan dengan kebijakan yang ada," ujar Bayu. Besaran PE CPO dan turunannya yang saat ini menjadi 6,5 persen telah membuat ekspor olein (minyak goreng) menurun karena industri pengolah CPO justru lebih memilih mengekspor CPO dari pada olein. "Kan sekarang banyak pabrik refinery yang biasanya mereka olah CPO jadi olein atau stearin untuk ekspor tapi karena sekarang dikenakan PE 6,5 persen berarti ada selisih 50 dolar antara CPO dan olein di dalam negeri," kata Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), Derom Bangun. Sementara itu, perbedaan harga jual CPO dan olein di luar negeri tidak sampai 50 dolar, sehingga akan lebih menguntungkan mengekspor CPO saja. "Biasanya mereka jadikan olein dulu untuk dijual ke luar negeri karena harga tinggi mereka untung. Tapi karena dipotong PE, mereka rugi kalau dijadikan stearin. Jadi mereka tak operasikan pabrik secara penuh," paparnya. Selisih antara PE CPO dan produk turunannya akan membantu merangsang pertumbuhan industri hilir CPO. Untuk selanjutnya, Derom meminta pemerintah tetap menerapkan besaran PE yang berbeda antara dua komoditi tersebut. "Itu ada hitungannya dengan membandingkan harga di luar negeri," ujar Derom. Derom memaparkan rumus penghitungan batas perbedaan PE CPO dan Olein. Jika harga olein di luar negeri lebih tinggi sebesar X dolar dan biaya pengolahan sebesar Y dolar, maka PE harus lebih kecil dari X-Y. "Misal harga olein di luar negeri lebih tinggi 40 dolar AS dibanding dalam negeri (X), biaya pengolahan 10 dolar AS per ton, maka PE untuk olein jangan sampai lebih dari 30 dolar AS. Mesti di bawah itu agar ada margin yang bisa dinikmati pemilik pabrik," jelasnya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007