Jakarta (ANTARA News) - Nurkoyah binti Marsan Dasan asal Karawang, Jawa Barat, dinyatakan bebas dari hukuman mati di Pengadilan Provinsi Timur, Arab Saudi, demikian keterangan Kedutaan Besar RI di Riyadh, Arab Saudi, yang diterima di Jakarta, hari ini.

Nurkoyah menyusul lolosnya Sumiyati dan Masani dari hukuman mati dan telah kembali ke kampung halaman mereka pada 7 Mei 2018 di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

KBRI Riyadh menyebutkan, Nurkoyah dituduh melakukan "ghilah" (pembunuhan dengan pemberatan) yaitu pembunuhan berencana terhadap anak majikan bernama Masyari bin Ahmad al-Busyail yang masih berusia 3 bulan dan sengaja mencampurkan obat tertentu dan racun tikus ke dalam botol susu.

Setelah melalui proses hukum yang panjang dan alot sejak ditangkap pada 9 Mei 2010, akhirnya pada 31 Mei 2018 Nurkoyah memperoleh kepastian bahwa hakim menolak tuntutan "qisas" (nyawa dibayar nyawa) dan "diyat" (denda) terhadap dia. Vonis itu telah berkekuatan hukum tetap dan dinyatakan selesai.

Putusan itu ditandatangani oleh hakim Muhammad Abdullah Al-Ajjajiy.

Selama menjalani proses hukum, Nurkoyah didampingi secara intensif oleh KBRI Riyadh yang menunjuk pengacara Mishal Al-Sharif untuk membela Nurkoyah, sekaligus memastikan kehadiran negara dalam melindungi warga  yang sedang mengalami masalah hukum.

Proses hukum Nurkoyah berlangsung sangat lama dan pelik dengan memakan waktu hampir delapan tahun. Selama itu pula KBRI Riyadh dibantu pengacara terus memberikan pendampingan dan mengupayakan pembelaan maksimal kepada Nurkoyah.

Hakim menolak had ghilah (hukuman mati) dan memutuskan ta`zir (semacam hukuman pendisiplinan) dengan hukuman kurungan enam tahun penjara serta cambuk 500 kali.

Di pengadilan, Nurkoyah mencabu pernyataannya saat penyidikan karena dilakukan di bawah tekanan.

Majikan bernama Khalid Al-Busyail kemudian mengajukan tuntutan qisas (hukuman mati) terhadap Nurkoyah. Hakim Pengadilan Umum Dammam menolak tuntutan hukuman mati qisas dengan menggunakan pembuktian sumpah (yamin) karena Nurkoyah mengingkari tuduhan dan menuntut hak khusus karena majikan tidak mampu menghadirkan bukti-bukti lain yang menguatkan tuntutan itu.

Setelah tuntutan qisas terhadap dia ditolak pengadilan, Nurkoyah mendapatkan harapan dibebaskan dan segera pulang menemui keluarganya di Karawang, terutama ibunya yang kesehatannya sudah menurun.

KBRI Riyadh langsung mengambil langkah-langkah untuk pemulangan Nurkoyah. Namun keinginan untuk bertemu keluarga di tanah air tertunda dan nyaris batal karena dia harus kembali berurusan dengan proses hukum setelah majikannya, Khalid Al-Busyail, mengajukan tuntutan diyat (tebusan) atas tuduhan telah melakukan kelalaian sehingga anak kandungnya meninggal dunia.

KBRI Riyadh dibantu pengacara Mishal Al-Sharif kembali mendampingi Nurkoyah.

Pada 3 April 2018, tim KBRI Riyadh dan Mishal Al-Sharif mendampingi Nurkoyah dalam persidangan di mana hakim menolak tuntutan hak khusus diyat dari majikan atas dasar "ne bis in idem" atau prinsip hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sama apabila sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.

Hakim memberikan kesempatan kepada majikan dalam waktu 30 hari untuk mengajukan i`tiradh (expostulation/keberatan) atas putusan tersebut, namun sampai tenggat waktu terlampaui, Al-Busyail tidak melakukannya.

Sehingga, pada 31 Mei 2018 Pengadilan Umum menetapkan putusan hukum atas kasus Nurkoyah telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pada 2 Juni 2018 KBRI Riyadh secara resmi menerima salinan putusan Pengadilan Umum Dammam atas kasus Nurkoyah.

KBRI Riyadh kemudian menindaklanjuti putusan ini dengan menyiapkan keperluan dalam proses pemulangan Nurkoyah ke Indonesia.

KBRI Riyadh telah berkomunikasi dengan pengacara sembari terus memantau kondisi Nurkoyah yang berada di penjara Dammam. Nurkoyah akan dipulangkan ke Indonesia segera setelah "exit permit" atau izin keluar dan dokumen-dokumen lain telah diterbitkan pihak berwenang Arab Saudi.
 

Pewarta: Libertina Widyamurti Ambari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018