Jakarta (ANTARA News) - Ratusan mantan karyawan PT Tongyang Indonesia, sebelumnya produsen sepatu Reebok dan Adidas, berunjuk rasa di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Rabu, mendesak penyelesaian kasus mereka seperti buruh sepatu PT Hasi dan PT Nasa (produsen Nike). Para pengunjuk rasa mengancam akan menginap di kantor Depnakertrans jika pemerintah lepas tangan atas kasus mereka yang sudah delapan bulan di-PHK tetapi tidak mendapat pesangon. "Kami sudah delapan bulan tidak digaji, tapi juga tidak ada kata PHK. Kami menuntut gaji kami dibayar, jika memang ada PHK, perusahaan harus membayar pesangon sesuai ketentuan yang berlaku," kata Warsiti, koordinator aksi. Dalam aksi tersebut, buruh pabrik sepatu itu membawa sejumlah spanduk, poster dan melakukan aksi teatrikal yang menggambarkan kesengsaraan buruh yang tidak dipenuhi hak-haknya. Di antara spanduk yang dibawa bertuliskan "PT Tongyang Indonesia, layaknya seperti vampire menghisap darah rakyat kecil", "PT Tongyang di mana hati nuranimu". Ratusan buruh ini memadati halaman di depan lobi Depnakertrans. Mereka datang dengan menggunakan puluhan truk yang membawa mereka dari pabrik yang berada di Bekasi Timur. Namun demikian, aksi demo dilakukan tertib. Sejumlah buruh yang kelelahan tampak tidur di teras Depnakertrans, sedangkan lainnya mendengarkan orasi dari sejumlah koordinator aksi. Sejumlah petugas kepolisian tampak berjaga-jaga di dalam lobby untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Ketua Forum Komunikasi Staff PT Tong Yang Indonesia (TYI) Atan Dungi mengungkapkan selama delapan bulan menganggur, karyawan PT TYI banyak yang beralih profesi sebagai pemulung hingga pekerja seks komersil (PSK). Hal ini diungkapkan Atan di pertemuan antara perwakilan buruh PT TYI, perwakilan PT TYI Group, dan Direktur Perserikatan Kerja Depnakertran Usman Manu. "Ada yang terpaksa jadi pemulung dan jual diri. Bahkan diusir dari kontrakan karena gak bisa bayar, bahkan untuk makan saja susah," jelas Atan. Pada Desember 2006, sekitar 8.000 karyawan PT TYI Grup dirumahkan oleh perusahaan dan selama delapan bulan sejak saat itu, mereka tidak pernah diberikan gaji. Depnakertrans menawarkan agar dibentuk tim untuk menyelesaikan kasus tersebut, tetapi perwakilan buruh menolaknya. Buruh menilai tim itu hanya akan mengulur waktu penyelesaian. Berdasarkan Perjanjian Bersama (PB) antara perusahaan dan buruh pada 29 November 2006, saat dirumahkan, buruh berhak mendapatkan gaji penuh (100 persen) pada bulan pertama, 75 persen pada bulan kedua, dan 50 persen bulan ketiga dan seterusnya. "Tapi sampai saat ini kami baru diberi uang Rp100 ribu oleh perusahaan pada bulan pertama. Sisanya belum sama sekali," kata Mandu (35) salah seorang buruh.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007