Jakarta (ANTARA News) - Indonesia kini memasuki darurat konsultan, khususnya sektor konstruksi sehingga perlu kepedulian pihak terkait agar tujuan menggenjot pertumbuhan ekonomi, antara lain melalui masifnya pembangunan infrastruktur tercapai dengan maksimal, bukan sebaliknya, kata seorang praktisi jasa konsultan.

"Indonesia itu untuk jasa konsultan sudah darurat karena permintaan profesi ini meningkat drastis, sementara pasokannya hanya sepertiga," kata Praktisi Jasa Konsultan, Ir. H. Peter Frans saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya, Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto meminta keseriusan bekerja secara profesional kepada para konsultan supervisi dan kontraktor pada proyek Jalan Lintas Timur (Jalintim) Sumatera di Provinsi Riau tahun ini untuk delapan kontrak pekerjaan preservasi, rehabilitasi, dan pelebaran jalan senilai total Rp1 triliun dan delapan kontrak pekerjaan pengawasan/supervisi senilai Rp27,33 miliar.

"Untuk konsultan supervisi, pengawasan pekerjaan lapangan harus dilakukan dengan benar. Jangan ke lapangan hanya membawa kotak makan siang, tetapi harus membawa peta dan desain pekerjaan, karena penggerak utama kualitas pekerjaan adalah konsultan supervisi," kata Arie.

Menurut Peter yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) DKI Jakarta ini, tidak bisa dipungkiri di lapangan masih ada ditemui konsultan dengan kualitas KW3 dan KW5 sehingga ketika dijumpai hanya sibuk membawa kotak makan siang, bukan peta dan desain pekerjaan.

"Ini keprihatinan kita," katanya.

Peter mengakui bahwa rata-rata biaya konsultan dan supervisi proyek konstruksi itu hanya 10 persen dari total proyek, tetapi tanggung jawab mereka adalah 100 persen demi suksesnya proyek dimaksud.

"Jadi, tidak ada jalan keluar untuk meningkatkan kualitas para konsultan di lapangan, kecuali penghargaan yang layak kepada mereka," katanya.

Hal itu karena, lanjut Peter, peran seorang konsultan itu sangat strategis, sehingga ada ungkapan, tidak ada negara maju kalau konsultannya tidak maju, tidak ada negara hebat kalau konsultannya tidak hebat.

"Kami akui memang sudah ada Kepmen PUPR nomor 798/2018 tentang Billing Rate (imbalan) minimal, tetapi sampai sekarang belum bisa diterapkan di lapangan, baik oleh pengguna jasa maupun penyedia jasa karena belum adanya sanksi yang jelas dan tegas," katanya.

Jika persoalan penghargaan yang layak kepada profesi konsultan ini selesai, maka dengan sendirinya, peminatnya akan bertambah, khususnya dari para insinyur untuk menjadi konsultan profesional.

"Fakta yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Borodjonegoro juga terbukti bahwa Indonesia saat ini kekurangan insinyur profesional karena hanya satu dari 83 orang lulusan teknik, jadi insinyur profesional. Jadi, dari data ini wajar jika suplai insinyur konsultan profesional di Indonesia itu hanya sepertiga saja," katanya.

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018