Jakarta (ANTARA News) - Peningkatan daya beli masyarakat merupakan salah satu indikator yang paling umum untuk mengukur efektivitas program pengentasan kemiskinan, kata pengamat dari Institute for Development of Economics and Finances (Indef) Enny Sri Hartati.

"Indikatornya adalah daya belinya naik, pertumbuhan konsumsi rumah tangga meningkat," kata Enny di Jakarta, Rabu.

Selain itu, ujar dia, efektivitas kebijakan pengentasan dari kemiskinan juga dapat dilihat dari terciptanya lapangan pekerjaan guna memberdayakan warga ekonomi marjinal.

Enny berpendapat bahwa dengan banyaknya alokasi yang dikucurkan pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan seharusnya bisa mengangkat banyak warga dari kondisi kemiskinan, tetapi pada saat ini belum signifikan bila dilihat dari proporsi seluruh populasi Nusantara.

Ia juga menyoroti garis kemiskinan yang menjadi standar BPS karena dinilai tidak selaras dengan standar internasional yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron mengingatkan agar berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga harus benar-benar memikirkan dampaknya agar daya beli warga di tanah air selalu dijaga.

Baca juga: Pemberdayaan ekonomi pesisir efektif kurangi tingkat kemiskinan

"Daya beli masyarakat harus dijaga, dan terus dikawal, agar konsumsi publik tetap terjaga sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi negara," kata Herman Khaeron.

Menurut Herman, konsistensi dalam menjaga daya beli juga berarti bahwa setiap kenaikan harga barang dan jasa yang berdampak penting dan meluas kepada masyarakat harus dapat diintervensi dengan anggaran pemerintah.

Politikus dari Partai Demokrat itu memaparkan bahwa langkah intervensi pemerintah dapat dilaksanakan antara lain melalui pengucuran subsidi, seperti subsidi untuk BBM.

Oleh karena itu, permasalahan seperti kenaikan harga BBM yang ditanggung oleh pemerintah seharusnya juga dapat diintervensi oleh anggaran pemerintah melalui APBN.

Sebagaimana diwartakan, kebijakan yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat berfokus untuk meningkatkan dan menjaga daya beli kalangan pekerja agar peningkatan upah yang mereka terima tidak tergerus dengan tingkat inflasi pada waktu bersamaan.

Baca juga: Anggota DPR ingin Dana Desa menjadi stimulus tekan kemiskinan

Kepala BPS Kecuk Suhariyanto di Jakarta, Senin (25/6), menyatakan bahwa upah nominal harian buruh bangunan pada Mei 2018 naik 0,14 persen dibandingkan dengan upah April 2018, yaitu dari Rp85.983 menjadi Rp86.104 per hari, sedangkan upah riil mengalami penurunan sebesar 0,07 persen.

Upah nominal buruh atau pekerja adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan yang telah dilakukan.

Sedangkan upah riil adalah perbandingan antara upah nominal dengan indeks konsumsi rumah tangga.

Dengan demikian, bila upah riil buruh bangunan mengalami penurunan, maka dapat dikatakan bahwa kenaikan upah nominal yang mereka terima ternyata masih lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan indeks konsumsi rumah tangga sehari-hari mereka.

Baca juga: Bappenas: investasi infrastruktur dukung pengentasan kemiskinan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018