Realisasi di lapangan berbeda, terutama dari bibit yang diproduksi Balitbangtan. Mereka hanya mendapat panen 5 ton per hektare, padahal petani sudah menerapkan teknik budidaya yang baik
Jakarta (ANTARA News) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan produktivitas jagung dari benih hibrida yang diberikan dari bantuan Program Upaya Khusus (UPSUS) Kementerian Pertanian tidak seoptimal yang diklaim kementerian tersebut.

Dalam pemaparan hasil penelitian CIPS di Jakarta, Selasa, Peneliti CIPS Imelda Freddy, mengatakan benih UPSUS yang diproduksi Balitbang Pertanian diklaim dapat menghasilkan potensi panen minimal 10 ton per hektare, namun pada kenyataannya berbeda di lapangan.

"Realisasi di lapangan berbeda, terutama dari bibit yang diproduksi dari Balitbangtan. Mereka hanya mendapat panen 5 ton per hektare, padahal petani sudah menerapkan teknik budidaya yang baik," kata Imelda.

Ada pun dalam Permentan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman UPSUS, Kementan menetapkan alokasi distribusi benih sebesar 65 persen untuk benih produksi pemerintah (Balitbangtan dan produsen lain berlisensi Balitbangtan) dan 35 persen diproduksi perusahaan swasta.

Dari penelitian yang dilakukan di Dompu, Nusa Tenggara Barat dan Sumenep, Jawa Timur, CIPS menemukan kelompok petani yang mendapatkan benih dari produksi Balitbangtan hanya mencapai panen 3-5 ton per ha.

Sementara itu, kelompok petani yang mendapatkan benih dari perusahaan swasta mencapai panen 7-10 ton per ha atau dua kali lebih tinggi daripada benih dari Balitbangtan.

Petani yang menggunakan benih jagung hibrida yang dibeli di luar program UPSUS ternyata dapat menghasilkan panen jagung hingga 13 ton per ha.

Menurut penyuluh pertanian di lapangan, sebagian benih dari kuota 65 persen yang dirpoduksi Balitbangtan tersebut mengindikasikan akan sulit tumbuh jika ditanam.

Bahkan, dalam temuan ekstrem, benih-benih tersebut mengeluarkan bau tidak sedap, berjamur dan terdapat kutu, sehingga banyak petani yang memilih untuk membeli benih sendiri di luar program UPSUS.

Selain karena produksi yang tidak optimal, distribusi benih dari program UPSUS juga seringkali terlambat sehingga berpengaruh pada masa tanam jagung dan berpotensi gagal panen.

"Para petani lebih memilih membeli sendiri benih jagung karena ingin memastikan supaya tidak telat tanam jagung dan lebih terjamin dari segi kualitas," kata Imelda.

Baca juga: CIPS: daerah-daerah ini tidak cocok untuk upsus jagung
Baca juga: CIPS: Distribusi benih jagung upsus perlu dievaluasi

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018