Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) harus melakukan berbagai upaya pro-aktif mengendalikan kurs rupiah dan jangan biarkan rupiah terperosok lebih dalam, mengingat gejolak nilai tukar dapat memicu kepanikan di sektor lainnya seperti pasar modal. "Saya sarankan BI lebih pro-aktif mengendalikan rupiah dan jangan biarkan rupiah terperosok lebih dalam. Kalau ini dibiarkan, akan menyebabkan kepanikan di pasar modal, investor melakukan penjualan di saham, SUN (surat utang negara) dan mungkin juga ke SBI," kata pengamat pasar uang, Farial Anwar, di Jakarta, Jumat. "Kenapa potensi rupiah dapat menembus Rp9.400, itu karena BI mengatakan kisaran yang nyaman untuk eksportir adalah Rp8.500 sampai Rp9.500 per dolar AS. Ini kisaran yang `gila-gilaan`," ujarnya. Menurutnya, langkah yang harus dilakukan BI adalah melakukan intervensi dan mengontrol bank-bank yang aktif melakukan spekulasi mata uang, terutama bank-bank asing. Farial mengatakan dana asing (outstanding) di Indonesia dalam bentuk SUN, SBI dan saham sekitar 14 miliar dolar sampai 16 miliar dolar AS atau jumlahnya masih di bawah cadangan devisa Indonesia sekitar 51 miliar dolar AS. Logikanya jika terjadi reversal (pembalikan arus modal asing) tersebut, maka BI dapat mengendalikan, karena kemampuan cadangan devisa BI bisa untuk mengerem atau mengintervensi keluarnya modal. "Yang kita dengar BI baru mengeluarkan cadangan devisanya sekitar 1 sampai 1,5 miliar dolar AS," tambahnya. Mengenai guncangan yang terjadi di AS, Farial mengemukakan bagaimanapun efeknya akan terasa di Indonesia. Hal ini terlihat dengan jatuhnya indeks saham regional yang ujungnya merembet ke bursa Indonesia. "Indonesia pasti kena dampaknya karena kita menganut rezim devisa bebas," kata Farial. "Mudah-mudahan guncangan ini dapat diatasi oleh The Fed (Bank Sentral AS). The Fed sudah menahan suku bunganya dan ada pernyataan dari Ben Bernanke (Gubernur Bank Sentral AS) bahwa krisis ini tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi AS dan dampaknya hanya sementara," tambahnya. Sementara itu, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (BEJ), Erry Firmansyah, mengatakan penurunan indeks bursa global memang menekan indeks bursa saham Jakarta. Namun, katanya, penurunan indeks ini hanya sentimen sementara saja. "Karena faktor fundamental ekonomi makro dan fundamental perusahaan-perusahaan publik dalam kondisi bagus," kata Erry. (*)

Copyright © ANTARA 2007