Kinshasa (ANTARA News) - Kongo telah menangguhkan operasi militer pimpinan-Tutsi terhadap pemberontak Hutu Rwanda dalam upaya untuk menghindari ketegangan etnik lebih lanjut di bagian timur negara itu yang menghadapi masalah, seorang pejabat senior tentara mengatakan. Sedikit-dikitnya 165.000 warga sipil telah melarikan diri dari pertempuran di provinsi North Kivu di Kongo sejak Februari, ketika brigade tentara yang dipimpin-Tutsi memulai operasi untuk mengusir pemberontak Pasukan Demokratis untuk Pembebasan Rwanda (FDLR) keluar dari Kongo. Komandan pasukan darat Kongo Jenderal Gabriel Amisi mengatakan pada wartawan di Goma, ibukota North Kivu, keputusan untuk menangguhkan operasi itu diamil setelah berkonsultasi dengan misi penjaga perdamaian PBB di Kongo (MONUC) dan para diplomat asing. "Mereka mengatkan kami tidak dapat melakukan operasi mono-etnik: Tutsi terhadap Hutu. Karena itu, komandan tertinggi menangguhkan (operasi itu)," katanya. Beberapa bagian dari konferensi pers itu disiarkan di radio yang disponsori-PBB. Republik Demokratik Kongo telah mengadakan pemilihan bebas, demokratis pertamanya tahun lalu, menyusul berakhirnya perang 1998-2003 yang menewaskan kira-kira 4 juta orang, banyak dari mereka karena penyakit dan kelaparan terkait-kekerasan. Namun bagian timur (negara itu), tempat kekerasan yang sudah lama, tetap mudah bergolak. Amisi mengatakan tentara telah merencanakan untuk bekerja dengan MONUC mempersiapkan program untuk memadukan secara pantas yang disebut brigade campuran ke dalam militer dan mengeluarkan mereka dari markabesar mereka di bagian timur negara itu. Misi PBB telah beberapa bulan mencela situasi kemanusiaan yang memburuk di North Kivu. Para pengkampanye hak asasi manusia menuduh brigade campuran telah melakukan tindakan kejam termasuk pemerkosaan, memaksakan pemindahan, mempercepat eksekusi, dan menggunakan tentara anak. Pada Juni delegasi dari para duta besar di Dewan Keamanan PBB minta pada Kongo untuk bekerja dengan Rwanda guna menemukan solusi politik bagi kekerasan itu. "Metode dialog adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah yang telah membuat negara ini menderita sangat lama," kata Menteri Pertahanan Kongo Chikez Diemu. "Kami menyukai perdamaian. Kami ingin mendukung perdamaian." Wilayah North Kivu yang besar di sepanjang perbatasan dengan tetangganya Rwanda dikuasai oleh FDLR. Kelompok itu merupakan bagian dari bekas milisi Interfahamwe yang lari ke Kongo setelah mengambil bagian dalam pembasmian etnik di Rwanda yang menewaskan sekitar 800.000 orang Tutsi dan Hutu moderat pada 1994. Kehadiran berlanjut mereka di bagian timur Kongo itu digunakan oleh Rwanda untuk membenarkan dua serbuan ke Kongo pada 1996 dan 1998. Serangan kedua telah membantu memicu perang lima tahun yang menyebabkan sekitar 4 juta orang meninggal, sebagian besar karena kelaparan dan penyakit terkait-perang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007