Selepas guncangan, banyak warga lainnya sibuk mencari keluarga mereka yang terpisah akibat kepanikan menyelamatkan diri masing-masing.
Palu (Antara) - Parigi, ibu kota kabupaten terluas keenam di Sulawesi Tengah, Parigi Moutong, yang memanjang di pesisir timur dengan luas wilayah 6.231 km² hingga berbatasan dengan Provinsi Gorontalo di sebelah Utara-nya.

Aktivitas warga masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan mampu menghidupkan kabupaten yang memiliki potensi besar lewat teluk Tomini di sepanjang pesisir timur Sulawesi Tengah dengan Kota Parigi sebagai tanda kemakmuran daerah bersama keramaian kota yang tercermin setiap hari di dalamnya.

Parigi sendiri langsung menghadap ke teluk Tomini. Walau berada di pesisir Pantai Timur Sulawesi Tengah, Parigi cukup dekat dengan Palu yang hanya berjarak 34 kilometer yang membutuhkan waktu tempuh dua jam melalui jalur Tawaeli-Toboli atau jalur kebun kopi.

Pada Jumat petang (28/9), Kota Parigi masih memiliki aktivitas seperti biasanya. Masih banyak kendaraan berlalu-lalang, aktivitas jual beli di pasar tradisional masih ramai dikunjungi masyarakat yang membeli kebutuhan memasak untuk persiapan makan malam.

Sebagian warga lainnya menuju masjid-masjid untuk menunaikan shalat maghrib dengan bejalan kaki maupun menggunakan sepeda motor, ada juga yang di dalam rumah mengistirahatkan diri selepas beraktivitas serta ada pula yang sedang menikmati suasana pantai di cafe-cafe pinggir pantai.

Akan tetapi, seketika suasana berubah drastis, orang-orang ketakutan bercampur cemas dan panik, warga berada didalam rumah maupun yang sedang melaksanakan salat maghrib lari berhamburan ke jalan. Gempa tektonik dengan kekuatan 7,4 magnitudo mengguncang di sekitar teluk Palu.

Gempa yang berdurasi delapan detik tersebut, seketika meluluh lantakan ratusan bangunan di kota itu, menjatuhkan orang-orang yang sedang mengedarai sepeda motor, berjalan dan berlari hingga cedera yang menyebabkan kepanikan luar biasa.

Bukan hanya itu, tanah retak menganga, longsor yang menyusul kemudian memutuskan jalur kebon kopi antara Palu-Parigi, jaringan komunikasi dan listrik-pun terputus beberapa saat kemudian menjadikan keadaan menjadi gelap gulita.

Di tengah kegelapan, orang-orang berlarian menyelamatkan diri masing-masing, dan harta benda yang bisa mereka bawa.

Tak ada kata lain keluar dari mulut selain menyebut "Allahuakbar... Allahhuakbar... Allahuakbar", "Tuhan... Tuhan... Tuhan" disertai jeritan tangis.

Dalam keadaan panik, lima menit kemudian isu tsunami datang dari mulut-ke mulut. Seketika orang-orang semua bergegas mencari tempat yang aman, ada yang berlari hanya menggunakan kain sarung, ada yang menggunakan celana tanpa baju ada pula mengendarai sepeda motor, mobil dan kendaraan lainnya menuju ke tempat yang lebih tinggi.

Pasien Rumah Sakit Anuntaloko Parigi juga ikut diungsikan ke tempat aman, ribuan warga menuju ke gunung arah barat Kota Parigi, karena takut ancaman tsunami.

Kabar angin yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya itu ternyata bohong, Parigi aman dari tsunami.
 
Situasi jalanan Parigi, Parigi Moutong, Sulawesi Tegah, Rabu (3/10). (Antara/Moh Ridwan)



Kesaksian

Saat guncangan gempa itu, pewarta Antara Mohammad Ridwan beserta istri, ibu mertua dan kaka iparnya lari  ke halaman sekolah dasar Desa Parigi'mpu, Kecamatan Parigi Barat, setelah menempuh jarak kurang lebih tujuh kilometer menggunakan sepeda motor.

"Di situ kami anggap tepat aman berlindung untuk sementara, meski berdesakan dengan warga lainnya," kata Ridwan saat ditemui di Palu.

Di halaman sekolah itu, dia mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Tidak ada tikar untuk duduk, banyak anak-anak dan bayi. Suara bising mesin kendaraan menuju Desa Parigi'mpu semakin padat yang menyebabkan tersendatnya arus kendaraan," ujar Ridwan.

"Selepas guncangan, banyak warga lainnya sibuk mencari keluarga mereka yang terpisah akibat kepanikan menyelamatkan diri masing-masing," ucap Ridwan.

Malam itu, meski banyak warga berada dalam kepanikan, kata Ridwan, situasi kota Parigi mencekam gelap gulita tak ada yang berani kembali ke rumah mereka, rasa takut pun semakin memuncak, belum lagi banyak yang menjerit lapar dan haus di mana hanya sebagian kecil warga membawa air minum saat itu.

Hingga delapan hari pascagempa Palu-Donggala yang terasa di Parigi, warga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian dengan hanya beralaskan tikar seadanya, ada juga yang sudah kembali ke rumah namun memilih tidur di luar karena takut terjadi gempa susulan.

Belakangan diketahui, di Parigi ada korban meninggal dunia sementara berjumlah 15 orang, luka-luka 18 orang, hilang empat orang.

609 bangunan mengalami kerusakan yang termasuk di antaranya rumah warga, fasilitas kesehatan, jembatan maupun fasilitas umum lainnya dan menyebabkan 3.000 jiwa warga Parigi mengungsi.

Hingga kini, pemerintah setempat terus melakukan upaya pemenuhan kebutuhan logistik di tempat-tempat pengungsian meski masih belum terjangkau semua karena akses tertutup dan keterbatasan barang logistik. Namun saat ini Jalur Palu-Parigi sudah kembali normal hingga bantuan bisa disalurkan dari pusat pengumpulan logistik di Palu, Donggala dan Pantoloan. ***4***

Baca juga: Saatnya membangun kembali sistem peringatan dini bencana

Baca juga: Angkutan antarkota sudah beroperasi di Palu


 


 

Pewarta: Ricky Prayoga dan Mohammad Ridwan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018