Cimahi (ANTARA News) - Sekitar 90 persen tindak pidana pemerkosaan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dilatarbelakangi tontonan pornografi serta pornoaksi (PP) dari berbagai media massa serta dari informasi massa lainnya. "Berdasar data dari Associated Press (AP), negara kita merupakan negara kedua setelah Rusia yang paling banyak menebarkan PP itu," ujar Ketua Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi, dan Pornoaksi (KIP3) Pusat, Juniawati T Masjchun, di Bandung, Jumat. Dikatakannya, PP merupakan tindak pidana. Di berbagai negara di luar negeri peraturan tentang PP telah dibuat dengan jelas, dan diterapkan dengan ketat, namun ironisnya di Indonesia hal tersebut belum diterapkan secara maksimal, dan sangat jauh dari yang diharapkan. Menurut Juniawati, apabila PP dibiarkan terus merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, dikhawatirkan mempengaruhi kejiwaan manusia seumur hidup bahkan bisa lebih jauh gerbahaya daripada efek penggunaan narkotika. Indikasi itu jelas terlihat ketika sebagian remaja di Indonesia yang getol mengakses atau menyaksikan PP, kata dia, menjadi ketagihan, dan prilaku PP itu cenderung diingat seumur hidupnya. Penanggulangan PP tersebut, ucapnya, bisa dilakukan dengan program pendidikan melek media (media literacy) untuk semua kalangan masyarakat. Dikatakannya, perkembangan media massa yang dapat berkolerasi dengan PP merupakan sebuah industri yang sangat kuat daripada berbagai industri lain. Juniawati menyebutkan, rintangan yang dihadapi dalam memerangi peredaran PP di Indonesia di antarnya adalah sulitnya perwujudan regulasi, sehingga gerakan penekanan serta nalar kritis masyarakat harus terus didorong sehingga menjadi gerakan penyeimbang bagi penangulangan PP. "Jangan sampai alasan-alasan sepihak mendominasi wacana penanggulangan PP, karena pada setiap tindakan harus didasari hati nurani, nilai kesopanan serta etika sosial harus dikedepankan daripada wacana-wacana yang mengasumsikan perpecahan bangsa apabila UU PP itu diwujudkan," ujarnya. Terlebih, PP sangat sering menjadikan perempuan sebagai objek seks, katanya, padahal dalam setiap agama perempuan sangat dimuliakan. Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat, KH Dadang Kahmad menegaskan tidak ada pilihan lain untuk melawan gencarnya arus informasi, kecuali dengan menciptakan agen-agen kebudayaan tandingan. "Kita bisa mengonstruksi nilai, norma dan etika untuk menciptakan cara hidup masyarakat yang lebih baik," katanya. Lembaga kebudayaan, agama, pendidikan merupakan agen-agen yang masih memiliki pengaruh besar di masyarakat, dan agen dimaksud dapat bersimpul menciptakan jejaring untuk berkompetensi dengan PP sebagai pembawa pengaruh negatif media massa.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007